Jakarta – Direktur Utama Bank Jago, Arief Harris Tandjung mengungkapkan, ada sejumlah pelajaran berharga yang bisa diambil dari kasus bankrutnya Sillicon Valley Bank (SVB) di AS, yakni pentingnya menjunjung tinggi manajemen risiko perbankan, terutama dalam mengelola likuiditas.
Asal tahu saja, pertengahan Maret 2023 industri perbankan global dikejutkan dengan bankrutnya Sillicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat. Banknya para startup ini ambruk setelah nasabahnya melakukan penarikan dana besar besaran (bank rush) dalam waktu bersamaan. Gejolak di SVB kemudian menular ke bank sejenis.
Kisah tragis SVB dan bank sejenisnya itu memang tak lepas dari perubahan kebijakan makro yang ditandai dengan kenaikan suku bunga acuan secara agresif. Masalahnya, di saat yang sama, industri teknologi dan perusahaan rintisan (startup), deposan utama bank SVB, tengah megap-megap melewati “musim dingin” (tech winter) yang kejam.
Baca juga: Efek Resesi dan SVB, Sebanyak 27 Bank AS Terkena Imbasnya
“Ada beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik dari pengalaman ini. Antara lain, bank harus selalu hati-hati dalam melakukan manajemen likuiditas dan menjunjung tinggi prinsip manajemen risiko,” ujar Arief Harris Tandjung, Direktur Utama Bank Jago, akhir pekan lalu di Jakarta.
Seperti bank digital lainnya, Bank Jago sempat mendapatkan banyak pertanyaan dari publik terkait fenomena SVB ini. Karena sama-sama melayani ekosistem startup, Bank Jago dan bank digital lain di Tanah Air diprediksi bakal terkena imbas. Salah satu risiko yang dikhawatirkan adalah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap keberlanjutan bisnis bank digital.
Tapi, seperti diketahui, efek SVB tidak menular dan terbukti tidak ada hubungannya dengan prospek bank digital di negeri ini. “Karena beda konteks, beda masalah. Lagi pula, saat itu fundamental Jago sangat kuat. Ekuitas kami mencapai Rp8 triliun, CAR di atas 70%, kredit dan DPK tumbuh seimbang dengan NPL di kisaran 1%,” kata Arief.
Sekadar flashback, Arief bercerita, persoalan mendasar dari kasus SVB adalah liquidity mismatch. SVB banyak menempatkan dana pihak ketiga (DPK) yang sifatnya jangka pendek ke berbagai instrumen investasi salah satunya surat utang pemerintah. Nah, ketika suku bunga acuan naik, nilai obligasi ini menjadi turun (discounted).
Masalahnya, pada waktu itu, deposan SVB yang mayoritas perusahaan startup, butuh likuiditas untuk bisa melewati tech winter dengan selamat. Maka tak ada jalan selain mencairkan simpanan mereka. Padahal, oleh SVB, dana nasabah diinvestasikan di instrumen surat utang yang nilainya saat itu justru sedang turun.
“Inilah yang disebut efek liquidity mismatch karena tidak hati hati mengelola risiko likuiditas,” ungkapnya
Belajar dari kasus ini, Arief melanjutkan, bank harus lebih disiplin dalam melakukan manajemen risiko, seperti risiko kredit, risiko reputasi, risiko likuiditas hingga risiko hukum.
“Kita mesti lebih jeli kapan harus injak pedal gas untuk tumbuh, dan kapan harus injak rem untuk meminimalkan risiko. Bagaimanapun, bank is a bank, fundamentalnya harus kuat, neracanya sehat dan harus bisa menghasilkan profit karena terkait menjaga kepercayaan publik,” paparnya.
Terkait strategi menyeimbangkan rem dan gas, Arief menegaskan, Bank Jago akan menerapkannya secara konsisten demi menjaga pertumbuhan yang berkualitas.
“Buat apa kita injek gas dalam dalam kalau kita tahu di depan ada jurang. Buat apa kita terlalu agresif menyalurkan kredit, kalau tahun berikutnya kita malah sibuk bersih bersih NPL. Bagi kami, pertumbuhan memang penting, tapi bukan dengan cara ugal-ugalan,” tambah Arief.
Ugal-ugalan itu maksudnya bank terlalu berlebihan “bakar uang” dalam akuisisi nasabah atau terlalu bablas dalam menyalurkan kredit. Ketidakhati-hatian dapat meningkatkan NPL, mengerek cost of credit dan pada akhirnya berdampak buruk ke neraca laba rugi. Jika terus merugi, modal bank bisa tergerus.
“Situasi ini yang kami hindari. Karena, kalau bank merugi dan modal nya tergerus, bank juga tidak bisa ekspansi. Itulah pentingnya pertumbuhan yang berkualitas,” tukasnya.
Baca juga: Bank Jago Masuk 3 Besar Bank Terbaik di Indonesia Versi Forbes
Pada Semester I-2023, Bank Jago membukukan laba bersih sebesar Rp41 miliar, tumbuh 40% secara tahunan. Adapun total aset melonjak 29% menjadi Rp18,8 triliun. Peningkatan laba bersih ditopang penyaluran kredit senilai Rp11,2 triliun, tumbuh 54%. Rasio NPL gross berhasil dijaga di level 1,2% dan NPL net di level 0,2%.
Kencangnya laju pertumbuhan kredit, diimbangi dengan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang meningkat 65% menjadi Rp10,9 triliun. Dana murah atau current account saving account (CASA) mencapai Rp7,2 triliun, melonjak 86%. Sedangkan deposito senilai Rp2,8 triliun, meningkat 30%. Komposisi DPK didominasi CASA dengan proporsi mencapai 71%.
“Total nasabah kami mencapai 8,3 juta dan sebanyak 6 juta nasabah berasal dari aplikasi Jago,” tutup Arief. (*) DW