Rencana kebijakan BI tersebut pun patut diduga melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas maupun logam dan patut diduga sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011. Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran dan pelanggarannya diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000.
Baca juga: Masyarakat Jangan “Dipaksa: Bayar Top Up e-Money
David menyatakan, bahwa kebijakan BI tersebut menyebabkan ketidakadilan bagi konsumen antara lain konsumen sudah dipaksa untuk tidak bayar tunai, uang elektronik mengendap di bank, uang elektronik tidak memperoleh bunga, uang elektronik tidak dijamin Lembaga Penjamin simpanan. Lalu, lanjutnya, jika kartu hilang, uang yang tersisa di kartu akan hilang. Kemudian, konsumen seharusnya mendapat insentif dan bukan disisentif dalam pelaksanaan program less cash society.
Dalam laporannya, David mohon kepada Ombudsman memberikan rekomendasi kepada BI untuk membatalkan rencana penerbitan kebijakan pengenaan biaya untuk isi ulang kartu elektronik dan melindungi hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan Rupiah Kertas maupun Logam dalam bertransaksi. (*)