Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
Jakarta – Badan usaha milik negara (BUMN) sulit dilepaskan dari birokrasi dan perannya sebagai agen pembangunan yang mencolok bisa membuat absennya business leadership. Apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mengakhiri masa pemerintahannya pada 2024, ingin memiliki legacy terutama pembangunan infrastruktur yang masif, seperti jalan tol, bandara, listrik, kereta api cepat, MRT, LRT, hingga Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pembangunan IKN senilai Rp466 triliun, lebih dari separoh atau 53,5% dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sisanya kerjasama pemerintah dengan badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta.
Selama 10 tahun dari 2015 sampai 2024, APBN menggelontorkan anggaran infrastruktur hingga Rp3.581,1 triliun, belum termasuk infrastruktur yang melalui transfer daerah, dana desa, dan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Banyak BUMN sulit menolak “perintah” seperti di bidang konstruksi sampai kinerja keuangannya kedodoran karena terlilit utang komersial yang dicarinya dari pasar. Hutama Karya yang 100% sahamnya dimiliki pemerintah dan selalu diinjeksi dana PMN dengan jumlah yang jumbo, pun merugi sejak 2020 dengan total kerugian sampai 2022 sebesar Rp5,91 triliun.
Baca juga: Rating 136 BUMN Versi Infobank 2023, Di Cawe-Cawe Politik dan Rekor Laba BUMN
Begitu juga Waskita Karya, perusahaan yang 25% sahamnya dimiliki publik, bukan hanya merugi, tapi gagal membayar kewajibannya. Sedihnya, Destiawan Soewardjono direktur utamanya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan korupsi di anak usaha yaitu Waskita Beton Precast (WBP) pada 2016-2020 yang merugikan negara senilai Rp2,54 triliun. Gagal bayar utang yang dialami WBP boleh jadi terkait tata kelola yang buruk seperti banyaknya biaya-biaya proyek fiktif.
Menurut Kajian Biro Riset dalam Rating 136 BUMN Versi Infobank 2023, posisi BUMN sebagai agen pembangunan berpengaruh kepada model kepemimpinan bisnis di lingkungan BUMN. Para chief executive officer (CEO) di perusahaan BUMN melihat pemerintah bukan sekedar sebagai pemilik, tapi sebagai otoritas yang dengan kekuasaannya menentukan modal hingga arahan berbisnis.
Berbeda dengan para CEO di perusahaan swasta, dimana mereka bekerja secara otonom dan melihat pasar yang memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan pemegang saham. Mereka bekerja sesuai dengan otoritasnya dan tidak dibatasi dalam mengambil keputusan atau strategi bisnis. Para CEO di sektor swasta umumnya memiliki kedekatan dengan pasar, sedangkan di perusahaan BUMN umumnya CEO memiliki kedekatan dengan jaringan kekuasaan. Tak seperti perusahaan BUMN diharuskan menenderkan semua proyeknya, perusahaan swasta tidak selalu demikian tapi justru mereka bisa lebih efisien atau profitable. Baik di perusahaan BUMN maupun swasta, seorang CEO diangkat maupun dipertahankan karena trust yang diberikan pemilik.
Di perusahaan swasta, CEO bersama timnya akan meraih trust dan kewenangan jika dapat membuktikan bahwa strategi yang dilakukannya mampu meningkatkan profitabilitas dan nilai perusahaan. Di perusahaan BUMN, CEO bersama timnya akan meraih trust dan kewenangan tidak hanya mampu menunjukkan kinerja keuangan perusahaannya, tapi yang lebih penting adalah bersedia memikul “beban” politik dan birokrasi. Apalagi, mereka juga harus bekerjasama atau diawasi oleh orang-orang di lingkaran kekuasaan yang menjadi pengurus terutama komisaris di perusahaan BUMN.
Bahkan bukan cuma CEO perusahaan pelat merah, bagi para menteri pun berlaku demikian. Erick Thohir sebagai Menteri BUMN yang posisinya dalam dunia korporasi setara dengan Chairman di Superholding BUMN, juga harus mengikuti visi politik presiden. Pada 2019, Jokowi mengingatkan tidak ada visi menteri, yang ada hanya visi presiden. “Sebagai menteri posisi kami adalah pembantu presiden, tidak bisa menentukan visi yang menurut saya baik seharusnya kemana, tidak bisa otonom seperti CEO di perusahaan swasta,” ujar seorang mantan menteri pemerintahan Jokowi dan mantan CEO sukses kepada Infobank beberapa waktu lalu.
Jika perusahaan BUMN terlalu didorong menjadi agen pembangunan yang di dalamnya sarat dengan cawe-cawe baik dalam penempatan orang maupun program bisnisnya, para CEO BUMN sulit mempraktekkan business leadership dan bekerja tanpa passion. Tidak kaget kalau ada perusahaan BUMN yang selama bertahun-tahun membukukan keuntungan besar tiba-tiba mengalami kerugian dan gagal membayar kewajibannya bahkan direksinya tersangkut korupsi. Boleh jadi, mereka bekerja tanpa passion, tidak melihat kedudukan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, tapi sebagai jabatan yang harus dijaga seperti “petugas” negara yang kalua menghadapi masalah keuangan bisa menyandarkan diri kepada APBN.
Baca juga: Optimalisasi Sinergi, BUMN dan Swasta Bakal Cetak Blueprint, Apa Manfaatnya?
Apa yang menjadi penyebab kerugian di perusahaan pelat merah dan mengapa kasus korupsi masih mewarnai BUMN? Perusahaan pelat merah mana yang kinerja cemerlang dan mana yang merugi? Setelah tujuh perusahaan BUMN dhuafa disuntik mati, bagaimana nasib perusahaan dhuafa dan kinerja masih terus merugi? Berapa besaran PMN dan setoran BUMN selama pemerintahan Jokowi? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 545 September 2023!
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More