“Kita perkirakan bisa Rp100 miliar sampai Rp200 miliar di akhir tahun. Kita harus rela dengan jangka pendek. Tidak usah mobil mewah, perjalanan dinas juga harus selektif,” tegas Wimboh.
Jika memang OJK bisa menghemat hingga Rp1 triliun selama Wimboh menjabat sebagai Ketua DK OJK, maka akan mengurangi bayang-bayang defisit yang ada di lembaga independen tersebut. Bayang-bayang defisit anggaran di OJK bukan tanpa alasan. Diperkirakan, Jika pertumbuhan anggaran OJK untuk operasional tanpa APBN (capital expenditure atau capex), tentu akan mengalami defisit. Faktor pentingnya karena dominannya biaya SDM yang terus meningkat. Apalagi jika selalu ingin disamakan dengan biaya remunerasi dan fasilitas SDM seperti di BI, tentu akan menyebabkan defisit anggaran, baik SDM, operasional maupun biaya sewa kantor dan pengembangan TI.
Baca juga: Ini Harapan KSSK ke DK Baru OJK
Tidak ada jalan lain bagi Anggota Dewan Komisioner OJK yang baru ini, selain melakukan konsolidasi dan reformasi kebijakan SDM. Dewan Komisioner juga harus fokus pada pengaturan dan pengawasan, karena ada kemungkinan biaya operasional tersebut akan defisit mulai 2018. Hitungan kasarnya setidaknya sebesar Rp500 miliar-Rp700 miliar setiap tahun, dan jika diakumulasikan sampai dengan 2022 OJK akan defisit sebesar Rp3 triliun-Rp4 triliun.
Pada tahun ini, OJK menganggarkan Rp4,37 triliun untuk menjalankan fungsi kelembagaannya. Dana yang mayoritas diambil melalui pungutan dari industri keuangan tahun lalu itu sebesar 86 persen dialokasikan untuk kegiatan administratif, 10 persen untuk operasional, 3,13 persen untuk pengadaan aset. Tahun ini, OJK sendiri menargetkan penerimaan dana iuran sebesar Rp4,66 triliun. (Bersambung ke halaman berikutnya)