Di Tengah Ancaman Resesi, Perdagangan Global Diprediksi Terus Menguat

Di Tengah Ancaman Resesi, Perdagangan Global Diprediksi Terus Menguat

Jakarta – Laporan dari DHL Express dan NYU Stern School of Business menunjukkan sektor perdagangan akan bertumbuh lebih cepat secara global di 2022 dan 2023 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kekhawatiran resesi ekonomi dunia akibat pandemi, perang Rusia-Ukraina, dan inflasi, seolah tidak menghambat laju perdagangan global.

“Globalisasi tidak menyebabkan regionalisasi. Kita telah melihat strategi dimana sejumlah rantai pasokan berpindah ke pasar negara berkembang, dan Vietnam jelas adalah juaranya,” ujar CEO DHL Express, John Pearson, seperti dikutip dari CNBC, Jumat, 16 September 2022.

Laporan tersebut mencatat bahwa masalah logistik antar negara dan lockdown di Tiongkok benar-benar memiliki dampak ke industri manufaktur, tapi ada spekulasi bahwa korporasi-korporasi akan memindahkan pabrik ke daerah pesisir dan kembali ke negara asal, sebagai hasil dari kebijakan “Zero Covid” di Tiongkok dan masalah rantai pasokan, ternyata tidak terjadi.

Vietnam menguatkan posisinya di kancah perdagangan dunia sebagai hasil dari kecepatan skala pertumbuhan dagangnya. Menurut Steve Altman selaku peneliti senior dan direktur dari DHL Initiative on Globalization di NYU Stern, menyatakan bahwa kombinasi pertumbuhan domestik Vietnam, telah menarik minat partner dagang dari seluruh dunia.

“Itu berarti, negara tersebut memiliki strategi skala yang baik untuk melanjutkan pertumbuhannya,” tuturnya.

Di samping Vietnam, India dan Filipina juga tercatat sebagai negara populer lainnya dalam perdagangan global. Pasalnya, pasar negara berkembang, tengah mengimpor banyak barang-barang mentah dan mengadopsi lebih banyak teknologi untuk menarik minat perusahaan manufaktur atau partner dagang mancanegara.

John Pearson menerangkan lagi bahwa pola perdagangan global tersebut telah membawa perubahan pada market negara berkembang. Pasar negara berkembang sekarang lebih memperhatikan kualitas barang ketimbang kuantitas barang yang diperdagangkan. Adopsi teknologi telah membantu peningkatan kualitas produk di market negara berkembang.

“Beberapa tahun lalu, tidak jelas apakah shifting industri manufaktur di negara berkembang akan terjadi dalam konsep ‘China +1, +2, +3’, tapi hal itu benar-benar terjadi sekarang secara perlahan, namun konsisten,” ungkap John.

Inflasi dan lockdown ekonomi yang membuat GDP memburuk selama dua kuartal berturut-turut memaksa banyak perusahaan untuk menyesuaikan ulang operasi bisnisnya.

“Perdagangan itu terikat dengan pertumbuhan GDP,” kata Steve. “Dalam periode inflasi yang tinggi, apa yang perusahaan butuhkan adalah efisiensi dan biaya manufaktur yang lebih murah. Korporasi kemudian mencari akses-akses terbaik di seluruh dunia untuk mencapai hal itu,” paparnya.

Di sisi lain, John menerangkan, outlook jangka pendek di AS saat sektor ekspedisi berada di puncak kinerja, tetap menunjukkan prediksi yang tak pasti. “Meskipun demikian, pertumbuhan positif telah terjadi. Itu akan bergantung pada bagaimana aktivitas belanja di musim liburan akan terjadi, apakah masyarakat akan berhenti browsing dan mulai membeli?,” pungkas John. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Top News