Di Era Digital Masih Buka Kantor Cabang, Tidak Salah? 

Di Era Digital Masih Buka Kantor Cabang, Tidak Salah? 

Oleh Indah Kurnia, Insan BCA 1984-2008, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan

PERTANYAAN tersebut sungguh menarik ketika semua sektor usaha akhir-akhir ini justru lebih menitikberatkan orientasi pada pengembangan IT untuk menghadirkan produk/jasa yang CeMuMuAH (meminjam istilah Bank Indonesia); Cepat – Mudah – Murah – Aman – dan Handal (kekinian). Kalau lambat, imbasnya tentu ada ketergantian tenaga manusia, dengan output yang diharapkan kinerja menjadi lebih cepat, akurat, dan hemat.

Seperti produk hasil tembakau (rokok). Kalau dibikin/dilinting manusia, dalam 1 menit mungkin hanya akan menghasilkan 7 batang. Coba jika dilakukan oleh mesin, 1 menit bisa menghasilkan 7.000 batang dengan bentuk dan ukuran yang presisi. Mungkin yang membedakan adalah sensasinya. Cita rasa rokok dari sentuhan tangan ahli manusia yang hidup dan menghidupi keluarganya dari bekerja sebagai pelinting rokok selama bertahun-tahun tentu berbeda dengan rokok buatan mesin. Terlepas dari itu, rokok adalah produk yang tak kenal resesi. Maka itu, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea Cukai-Kementerian Keuangan harus tetap membuat Kebijakan Tarip Cukai yang fair untuk SKT (Sigaret Kretek Tangan).

Kembali ke topik awal. Pada 12 September lalu, saya mendapat kehormatan untuk ikut meresmikan pembukaan Kantor Cabang BCA Bukit Darmo Boulevard (BDB) di Surabaya Barat, bersama Bapak Frengky Chandra, Direktur Pengembangan Cabang dan Bapak Hendrik Sia, Kakanwil III BCA. Sebuah bangunan megah 10 lantai yang berdiri di atas lahan seluas 7.000 meter persegi, dengan lahan parkir yang luas. Sungguh menampilkan keseriusan BCA dalam upaya memanjakan nasabah (salah satunya saya) yang gemar bertransaksi secara fisik, bertatap muka dan berinteraksi langsung dengan bank officer.

Physical building tersebut memang didesain sesuai dengan kebutuhan nasabah konvensional. Mulai dari operasional teller dan CSO untuk melayani berbagai transaksi, sampai dengan account officer, admin kredit, BCA finance, GARK (Grup Analisa Risiko Kredit), dan K3S untuk memberi layanan cepat pada debitur, baik kredit usaha maupun kredit konsumer (KPR, KKB). Plus learning centre untuk menjaga dan meningkatkan kualitas SDM serta ruang pamer untuk produk-produk unggulan UMKM Jawa Timur. Semua berada dalam satu atap. Coverage area yang hanya 10 menit dari/ke pintu gerbang tol tentu sangat accessable dari berbagai penjuru.

Yang perlu saya ulas di sini, strategi BCA dalam meraup bisnis dan loyalitas nasabah sungguh sangat genius sekaligus humanis. Di era digital dengan mayoritas generasi menunduk, di mana seluruh kebutuhan hidup dan finansial dapat terpenuhi cukup hanya dengan telepon pintar (smart phone) dalam genggaman, BCA tetap jeli bahwa masih ada peluang besar/potensi bisnis yang dapat diperoleh dari nasabah dengan preferensi Bertemu Orang.

BCA adalah bank yang mapan, sehat, efisien, dan dekat dengan masyarakat. Hampir seluruh kebutuhan perbankan bisa dipenuhi dengan baik dan kekinian. Di era 1990-an, dampak kebijakan JB Sumarlin dengan Pakto ‘88 diejawantahkan dengan Kebijakan Kekinian BCA membuka kantor cabang secara masif. Hampir di setiap kecamatan ada BCA. Bahkan, di Surabaya hampir di setiap jalan besar terdapat kantor BCA. Minimal ada ATM. Sesuai semboyannya, BCA “Senantiasa di Sisi Anda”.

Di era nontunai, BCA juga rela menginvestasikan kembali sebagian laba dengan membangun gerai ATM dan CDM demi memenuhi kebutuhan transaksi keuangan nasabah. Herannya, meski cabang dan ATM/CDM berlimpah, counter BCA tidak pernah sepi. Tetap dipenuhi nasabah. Sampai BCA diplesetkan sebagai Bank Capek Antre.  

Tipikal nasabah BCA adalah nasabah fanatik dengan usia pembukaan rekening puluhan tahun. Datang ke kantor BCA, setor uang, adalah bagian dari aktivitas yang menyenangkan karena bisa bertemu orang, baik petugas bank maupun sesama nasabah.

Saat saya masih berada di BCA, banyak nasabah yang tetap mencari saya untuk membuka rekening dan bertransaksi. Bukan karena cabang saya menyediakan produk dan layanan perbankan yang berbeda, tapi karena nasabah tersebut mencari BCA yang ada “Indah”-nya (**pasti nasabah dimaksud senyum-senyum tanda setuju membaca tulisan ini).

Intinya, nasabah butuh orang yang membuat mereka merasa nyaman dan aman dalam bertransaksi dan menyimpan uangnya. Relasi terbangun secara alami karena sering berinteraksi. Sampai sekarang pun saya masih mengingat dengan baik nomor rekening beberapa nasabah aktif BCA Sidoarjo dan Surabaya yang saya layani sejak 1984 sampai 2008, dan mereka pun masih tetap berteman dan menyapa akrab jika bertemu di suatu acara.

Budaya hubungan bisnis Profesional-Kekeluargaan jangka panjang yang terbangun alami tersebut membuat BCA semakin dicintai sekaligus dibutuhkan customer. Selain produknya inovatif, SDM BCA mayoritas adalah orang-orang yang berkarier dari bawah dengan kualitas KYC (tingkat pengenalan nasabah) dan kredibilitas yang mumpuni. Tidak ada pejabat yang tiba-tiba berada pada posisi tertentu tanpa melalui proses. Termasuk orang nomor satu BCA, Bapak Jahja Setiaatmadja, yang mengawali karier di BCA mulai dari 1990 sebagai Wakil Kepala Divisi Keuangan, dan pernah rela menunggu selama lima tahun untuk menduduki posisi Kepala Divisi Treasury sesuai yang dijanjikan.

Saat ini BCA memiliki 12 kantor wilayah dan 1.232 kantor cabang. Hampir semuanya ramai dikunjungi nasabah. BCA tdak pernah menutup kantor cabang karena sepi. Bahkan, di masa pandemi, kredit konsumer tetap tumbuh positif karena kepiawaian BCA memanfaatkan pendekatan personal.

Jadi, kekhawatiran bahwa makin ke sini tenaga manusia akan makin tidak diperlukan lagi, itu tidak beralasan. Saya yakin keberadaan bankir untuk melayani nasabah tidak serta-merta tergantikan oleh sistem digital. Banyak bisnis yang bisa dimenangkan secara hybrid, memanfaatkan kecanggihan teknologi tetapi tetap dengan sentuhan kecerdasan yang humanis. Pembukaan Kantor Cabang BCA BDB Surabaya adalah salah satu wujud nyata. Salut untuk BCA!

Related Posts

News Update

Top News