Di Era Digital, Jangan Gagal Paham Disrupsi

Di Era Digital, Jangan Gagal Paham Disrupsi

Yogyakarta – Perkembangan teknologi melahirkan disrupsi bagi banyak sektor industri, termasuk sektor jasa keuangan. Perusahaan rintisan berbasis teknologi hadir dengan membawa inovasi-inovasi baru yang merubah cara-cara dalam berbisnis.

Menurut Prof. Renald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), kehadiran disrupsi sekurangnya bisa dibagi menjadi dua, disrupsi yang bisa dengan jelas dilihat dan disrupsi yang belum terlihat terlalu jelas.

“Disrupsi ada yang jelas kita lihat, tapi ada juga yang belum jelas. Yang belum jelas indikasinya ini yang harus kita perhatikan,” kata Renald dalam Seminar Pengawasan Market Conduct dan Implementasinya di Era Digital, yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Yogyakarta, pada 3-4 Oktober 2019.

Dalam menghadapi disrupsi, tambah Renald, ada sebagian perusahaan yang sudah siap. Tapi tidak sedikit pula yang tidak siap. Mereka yang tidak siap inilah akan sangat berpotensi semakin tertinggal.

“Ada sejumlah sektor industri yang masih adem-adem saja, padahal disrupsi sudah datang. Itu karena mereka tidak siap,” tegasnya.

Untuk mengantisipasi disrupsi, Renald bilang, pelaku usaha harus bisa mengelola dua hal, yakni hari ini dan hari esok. Maksudnya, yang terjadi hari ini dipelajari sebagai bekal untuk menghadapi masa yang akan datang. Tapi, perlu dicatat, mengelola dua hal itu bukan pekerjaan mudah karena sifatnya sangat kompleks.

“Itu yang dilakukan generasi lama, melangkah dengan hati-hati. Anak-anak muda sekarang melakukan sebaliknya. Mereka membawa hari esok ke hari ini. Mereka membawa risiko, membawa hal-hal yang belum jelas,” tegasnya.

Di lain sisi, keberadaan perusahaan berbasis teknologi, termasuk financial technology (fintech) juga tidak selamanya langsung mengambil posisi sebagai penantang lembaga keuangan tradisional. OVO misalnya. Jason Thomson, CEO OVO mengatakan, pihaknya membuka kerja sama dengan semua pihak dalam ekosistem yang terbuka. Dengan begitu, katanya, Indonesia akan bisa tumbuh lebih baik. “Kami menciptakan layanan untuk semua pihak, tidak ada yang eksklusif dengan kami,” kata Jason, pada acara yang sama.

Sementara khusus untuk perlindungan konsumen, Jason mengungkapkan jika OVO memiliki empat pilar utama yakni keamanan siber, fraud, privasi data, serta trust dan perception. “Kami adalah perusahaan yang masih muda, banyak hal yang masih harus kami improve. Mengenai perlindungan konsumen akan terus kami tingkatnya,” tukas Jason.

Tirta Segara, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen mengatakan, di era digital saat ini, perlindungan terhadap konsumen harus semakin ditingkatkan. Dan, OJK menjadikan pengawasan market conduct sebagai salah satu upaya nyata dalam melindungi konsumen. “Market conduct ini menjadi satu program prioritas bagi OJK,” pungkasnya. (Ari Nugroho)

Related Posts

News Update

Top News