Dewan Komisioner Baru OJK Dihantui Keuangan yang Defisit
Page 2

Dewan Komisioner Baru OJK Dihantui Keuangan yang Defisit

Dalam Pasal 34 UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 tersebut dinyatakan bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari sektor jasa keuangan dan yang terkait dengan kegiatannya. Pada 2013 anggaran secara penuh berasal dari APBN, sedangkan pada 2014 dan 2015 sebagian berasal dari pungutan. Selanjutnya, sejak 2016 dan 2017 seluruhnya berasal dari pungutan terhadap industri.

Apakah kondisi keuangan OJK dalam lima tahun dijamin aman dan tidak defisit? Besarnya pungutan yang 0,045 persen tentu tidak memadai, apalagi ada faktor pajak yang besar (35%) karena pungutan dinilai pendapatan, dan lebih parah lagi anggaran OJK merupakan sisa anggaran tahun sebelumnya. Plus lagi jika janji tidak naik iuran dan usulan dari Perbanas yang menginginkan iuran tidak naik akan dapat menutupi operasional OJK.

Jumlah pungutan selama 2015 dan 2016 masing-masing sebesar Rp3,9 triliun dan Rp4,3 triliun. Dan, sesuai dengan laporan keuangan OJK, pengeluaran OJK yaitu biaya sumber daya manusia (SDM) mencapai 70 persen. Sisanya biaya operasional, sewa dan leasing gedung, serta pengembangan sistem teknologi informasi (TI).

Diperkirakan, jika pertumbuhan anggaran OJK untuk operasional tanpa APBN (capital expenditure atau capex), tentu akan mengalami defisit. Faktor pentingnya karena dominannya biaya SDM yang terus meningkat. Apalagi jika selalu ingin disamakan dengan biaya remunerasi dan fasilitas SDM BI akan menyebabkan defisit anggaran, baik SDM, operasional maupun biaya sewa kantor dan pengembangan TI. (Bersambung ke halaman berikutnya)

Related Posts

News Update

Top News