Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
BANGSA Indonesia memiliki pemimpin baru: Jenderal TNI (Purn) Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka, yang dilantik pada 20 Oktober 2024. Pidato pertamanya sebagai presiden Republik Indonesia berkobar-kobar. Visinya jelas. Prabowo ingin menghilangkan kemiskinan ekstrem dan semua rakyat bisa menikmati kemerdekaan atau hasil pembangunan ekonomi serta kekayaan alam nusantara.
Agar itu terealisasi, pertumbuhan ekonomi akan didorong untuk mencapai 8 persen. Prabowo juga ingin nmembawa Indonesia mencapai swasembada pangan dan energi dalam waktu empat sampai lima tahun ke depan.
Gaya komunikasi dan karakter kepemimpinan Prabowo Subianto berbeda dengan presiden sebelumnya, Joko Widodo. Presiden Prabowo adalah pemimpin politik yang punya jejak kuat dalam kepemimpinan bidang militer dan dunia bisnis. Presiden yang pernah menjadi Jenderal Kopassus pun menggembleng para menterinya selama tiga hari di Lembah Tidar, Magelang. Tujuannya, untuk menambah pembekalan, membangun koordinasi antar-kementerian, serta membangkitkan rasa patriotisme dengan mengingat perjuangan para pejuang kemerdekaan.
Prabowo juga telah berkiprah di dunia bisnis. Ditambah dia adalah bagian dari keluarga intelektual Soemitro Djojohadikusumo yang tentu sangat kental dengan sistem meritokrasi. Setelah terlempar dari karier militernya pada 1998, dia berkecimpung ke bisnis bisnis mengikuti sang adik, Hashim Djojohadikusumo yang sudah menjadi pebisnis sejak 1978.
Pada 2014, Prabowo membeli Kiani Kertas senilai Rp1,8 triliun yang, perusahaan milik Bob Hasan yang kreditnya macet di Bank Mandiri kemudian diambilalih negara. Kendati Kiani Kertas yang kemudian diubah menjadi Kertas Nusantara kurang berhasil, Prabowo yang kemudian beralih ke bisnis lain sudah terbiasa menerapkan sistem meritokrasi atau penilaian berbasis kinerja dan rewards and punishment.
Pada rapat paripurna kabinet perdananya tanggal 23 Oktober 2024, Prabowo pun memberikan instruksi sebagaimana pemimpin bisnis yang berorientasi kepada hasil.
“Kalau Anda tidak puas dengan pejabat-pejabat di bawah Anda, laporkan, kita segera ganti,” tandasnya kepada para menteri. Ada pesan tentang pentingnya kompetensi dan integritas bagi orang yang memiliki jabatan penting. “Segera bekerja dan membangun tim, bergerak cepat menjalankan program yang ada, jaga kekayaan negara dan tidak boleh ada yang melakukan korupsi,” tegasnya.
Namun yang menjadi tantangan adalah ketika Prabowo Subianto menjalankan peran sebagai pemimpin politik. Dalam landscape dan budaya berpolitik di Indonesia, tidak mudah bagi pemimpin menerapkan sistem meritokrasi. Sebab, pengangkatan jabatan para menteri atau lembaga publik tidak bisa berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan integritas sepenuhnya. Ada faktor suka atau tidak suka (like and dislike), teman atau bukan teman, dan berada di barisan pendukung atau tidak.
Selain jabatan menteri, penempatan pengurus badan usaha milik negara (BUMN) terutama komisaris pun harus mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat politik dan bukan kepentingan ekonomi. Hal itu terlihat dari banyaknya figur yang bukan berlatar bankir atau ahli ekonomi yang duduk di kursi komisaris bank BUMN.
Partai politik yang menitipkan kader-kader atau relawannya untuk mendapatkan jatah di kursi komisaris perusahaan BUMN sudah menjadi fenomena sudah lama. Perombakan pengurus BUMN yang sudah dilakukan mulai Agustus lalu kabarnya akan makin masif hingga akhir tahun untuk menempatkan orang-orang yang berjasa mendukung kemenangan Prabowo-Gibran pada pilpres awal tahun ini.
Maka, keraguan publik pun muncul ketika Prabowo Subianto membangun pasukan birokrasi yang besar melalui Kabinet Merah Putih. Jika jumlah menteri pemerintahan Jokowi hanya 34 menteri, Prabowo memiliki 48 menteri. Itu belum ditambah 56 wakil menteri, dan 5 ketua lembaga negara. Lalu ada lagi badan-badan baru, sehingga jumlah pejabat tinggi yang mengisi kursi pemerintahan mencapai 137 kursi.
Jumlah kabinet Prabowo yang gemuk ini mengingatkan tentang Kabinet Dwikora II pada akhir pada masa Orde Lama yang jumlahnya mencapai 132 menteri atau disebut Kabinet 100 Menteri. Menurut catatan Biro Riset Infobank, jumlah menteri di Kabinet Merah Putih itu terbanyak di Asia Pasifik, bahkan di dunia. Tiongkok yang berpenduduk 1,4 miliar hanya punya 21 kementerian dan lembaga. India yang berpenduduk 1,3 miliar cuma memiliki 30 kementerian dan lembaga. Amerika Serikat yang berpenduduk 346 juta cuma punya 15 kementerian dan lembaga.
Ada potensi inefisiensi dari kabinet super gemuk. Menurut Center of Economic and Law Studies, kabinet Prabowo berpotensi menimbulkan pembekakan anggaran hingga Rp1,95 triliun selama lima tahun ke depan. Itu belum termasuk beban belanja barang dari pembangunan gedung dan fasilitas kantor.
Selain itu, ada tantangan koordinasi dan kekhawatiran menyulitkan investor karena adanya tumpang tindih kebijakan. Repotnya, kalau birokrasi yang seharusnya bekerja untuk melayani malah minta dilayani, maka akan banyak pejabat yang harus dilayani oleh para pelaku usaha. Jadi makin tidak efisien.
Alhasil, pengumuman anggota kabinet baru pada 20 Oktober 2024 tak membuat investor bergairah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) bergerak datar atau bahkan menurun dari Rp7.785,76 pada pembukaan 21 Oktober 2024 menjadi Rp7.587,44 per pagi ini, 31 Oktober 2024.
Apakah Prabowo Subianto dengan “Kabinet Lembah Tidar”-nya akan berhasil mewujudkan janjinya menciptakan pertumbuhan ekonomi 8 persen dan pemberantasan korupsi? Bagaimana para CEO menyesuaikan strategi bisnisnya di era pemerintahan baru dengan pasukan birokrasinya yang besar? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 559 November 2024! (*)