Surabaya – Masih ingat dengan Crazy Rich Surabayan, pengusaha kaya yang sempat viral ketika menukarkan dolarnya ke Bank Indonesia (BI) kala itu, kini beraksi lagi. Sebanyak 43 asosiasi dunia usaha yang tergabung dalam Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha (Forkas) Jawa Timur menggelar deklarasi bertema Bersatu dan Damailah Indonesia guna menjaga mewujudkan iklim usaha kondusif.
Dari asosiasi sebanyak itu, diantaranya meliputi Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (Indonesian Sawmill and Wood Working Association/ISWA), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Bankir Indonesia (IBI), Gabungan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (GAKI), dan lainnya lagi.
Selain melibatkan para pengusaha, kegiatan deklarasi juga memperoleh dukungan dari para pekerja sektor industri manufaktur dan jasa dengan jumlah total 4.000 orang. Ketua Umum Forkas Jatim, Nur Cahyudi mengatakan, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menyikapi kondisi akhir-akhir ini, di mana banyak terjadi konflik sosial yang dikhawatirkan dapat berdampak terhadap terganggunya kelancaran kegiatan ekonomi.
“Kami para pengusaha dan pekerja menolak gerakan massa yang dapat memicu perpecahan masyarakat Indonesia, agar suasana tetap kondusif. Dengan demikian, kegiatan ekonomi berjalan normal dan ekspor terus meningkat serta investasi bisa masuk,” ujar Nur Cahyudi dalam keterangannya di Surabaya, Senin, 14 Oktober 2019.
Menurut dia, deklarasi damai yang digelar Forkas juga sejalan dengan kebijakan Pemprov Jatim dalam merawat/menjaga kerukunan serta suasana damai di Jatim yang diistilahkan “Jogo Jawa Timur”. Karena itu, Forkas mendukung aparat penegak hukum untuk menindak siapa pun yang berupaya memecah belah persatuan bangsa.
“Suasana damai diperlukan, agar Jawa Timur menarik bagi calon investor asing guna menanamkan modalnya di provinsi ini, sehingga penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi bisa meningkat,” papar Nur.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, jumlah angkatan kerja di Jawa Timur terus bertambah tiap tahun, dan untuk menekan angka pengangguran tersebut maka dibutuhkan keberlangsungan sektor industri.
“Berdasarkan data yang disampaikan pihak Pemprov Jatim, tingkat pengangguran terbuka di Jatim mencapai 830.000 orang dan sebanyak 5 juta jiwa bekerja di bawah 5 jam per hari. Kondisi seperti ini perlu diatasi antara lain dengan mempertahankan keberlangsungan sektor industri,” ungkap Nur.
Karena itu, Forkas Jatim yang menghimpun 47 asosiasi pengusaha mendorong seluruh pemangku kepentingan guna menciptakan iklim usaha yang kondusif, demi pertumbuhan ekonomi dan investasi di Jatim. Data BPS Jatim menunjukkan, ekonomi Jatim pada triwulan II 2019 tercatat meningkat 5,72% secara year-on-year (yoy). Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi di Jatim hingga triwulan II sebesar 5,64%.
Sementara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menambahkan, bahwa saat ini Jatim merupakan rangking ke-6 terbesar di dunia yang memiliki iklim usaha yang baik. Menurutnya, berdasarkan riset Mckinsey pada tahun 2030, pertumbuhan ekonomi indonesia masuk ke dalam skala 7 besar dunia. Sedangkan Price Waterhouse dan Coopers (PwC) menyampaikan bahwa pada 2050 Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia ke-4.
“Kita mengajak masyarakat Jatim dan pengusaha Jatim siap menyongsong perekonomian sesuai prediksi PwC dan Mc Kensey,” ucapnya.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada kategori penyediaan akomodasi serta makanan dan minuman yang naik 7,89%. Pertumbuhan tersebut berkaitan dengan meningkatnya industri pariwisata di Jatim. Selain itu, jasa perusahaan juga tumbuh cukup tinggi yakni 7,69% dan jasa kesehatan serta kegiatan sosial 7,32%.
Sebagaimana diketahui, terjadinya perang dagang AS-China telah mengakibatkan ratusan industri manufaktur asal Tiongkok antara lain industri furnitur merelokasi pabrik ke Thailand, dan tidak ada yang ke Indonesia. Dalam menyerap investasi asing, Indonesia dikhawatirkan kalah menarik dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. (*)