Jakarta – Kebijakan pemerintah memberikan bantuan sosial (bansos) dinilai mutlak dibutuhkan. Bahkan, pemerintah didorong menambah alokasi anggaran bansos. Namun butuh strategi yang clear agar manfaat bansos lebih efektif bagi masyarakat.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Teguh Dartanto, mengatakan, kebijakan bansos tidak indentik dengan negara berkembang. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang pun tetap menjadikan bansos sebagai strategi perlindungan sosial. Bahkan penyalurannya lebih komprehensif.
“Bansos tetap diperlukan karena itu bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat kelompok bawah. Kalau itu dihilangkan, justru akan berbahaya, karena menyangkut nasib banyak orang. Jadi perdebatannya bukan pada dibutuhkan atau tidak, tapi perlu ada perbaikan dari sisi penerimaan dan strateginya harus lebih clear,” terang Teguh, Kamis 21 Desember 2023.
Baca juga: Cara Cek Penerima dan Pencairan BLT El Nino Rp400 Ribu, Klik Linknya di Sini!
Agar pemberian bansos lebih efektif di Indonesia, Teguh mengusulkan dua strategi. Pertama, pemerintah harus memiliki strategi graduasi atau memikirkan bagaimana para penerima bansos bisa naik kelas.
Jebolan S3 Nagoya University ini menyoroti dua jenis bantuan yang telah disediakan pemerintah, yaitu bantuan yang sifatnya untuk bertahan hidup seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau pemberian sembako, serta bantuan yang sifatnya produktif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
“Dari sisi penerima, perlu dipertegas supaya bagaimana orang yang menerima bansos bisa naik kelas. Mereka harus dibantu supaya tidak menerima bansos lagi. Itu yang harus clear. Untuk bantuan yang produktif, seperti KIP untuk masa depan atau KIS, itu nilainya masih kurang,” terangnya.
Strategi kedua adalah adaptive social protection atau pemberian bantuan berbasis kebutuhan. Strategi ini sudah banyak diterapkan di sejumlah negara maju. Dengan strategi ini, masyarakat penerima bansos bisa mendaftarkan diri. Strategi ini dinilai bisa diterapkan di Indonesia.
Selama ini, pemberiaan bansos di Indonesia dilakukan dengan pendekatan top down, yakni negara yang menentukan siapa yang layak atau tidak layan mendapatkan bantuan. Data penerima bansos yang layak dan tidak layak selalu menjadi perdebatan, atau bahkan kerap menimbulkan kecemburuan di masyarakat.
“Misalnya, ada orang yang tiba-tiba kena PHK dan penghasilannya langsung drop. Mereka kan perlu bantuan. Dengan sistem yang sekarang, mereka tidak bisa menyatakan kalau saya butuh bansos. Dengan cara on demand application, mereka yang butuh bansos boleh mendaftarkan diri,” ujar Ekonom yang meraih gelar master dari Hitotsubashi University itu.
Persoalan yang dihadapi saat ini adalah pemuktahiran data yang lama. Korban PHK misalnya tidak serta merta bisa mendapatkan bansos. Mungkin bisa sekitar 3-4 bulan baru masuk daftar penerima bansos.
Baca juga: Sri Mulyani Guyur Rp10,19 Triliun untuk Tambahan Bansos
“Memang perlu dibuat sistem yang seketika mereka butuh bantuan, tinggal aplikasi, mereka bisa segera dibantu. Itu kalau misal kita mau meniru pemberian bansos negara maju,” katanya.
Meski ada kekurangan, Teguh mengapresiasi bansos Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diluncurkan sejak 2017. Menurutnya, BPNT menjawab persoalan klasik terkait apakah lebih baik memberikan bansos dalam bentuk uang atau sembako. BPNT menjadi inovasi yang sangat baik karena uangnya ditransfer ke dalam kartu, dan hanya bisa dibelanjakan untuk barang tertentu saja.
“Secara teori, bansos idealnya memang uang tunai. Tapi, ada kekhawatiran kalau penggunannya tidak tepat sasaran, misal dibelikan rokok. Kalau diberikan beras misalnya, ada kekhawatiran jumlahnya berkurang saat sampai ke penerima. Belum lagi persoalan distribusi di Indonesia yang mahal dan kualitasnya menurun ketika sampai di daerah,” tuturnya. (*) Ari Astriawan