Bali – Bank DBS Indonesia menyambut baik komitmen pemerintah dalam mendorong pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) sebagai bagian dari penanganan perubahan iklim. Hal ini juga menjadi bagian dari upaya menuju Indonesia nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060.
Diakui Kunardy Lie, Managing Director Head of Institusional Bank DBS Indonesia, meski ada sejumlah tantangan, sustainable financing mempunyai potensi sangat besar di Indonesia. Namun upaya mewujudkan memang membutuhkan waktu. Karena perubahan tidak bisa dilakukan dengan serta merta. Butuh waktu untuk transisi dari brown energy menuju green energy. Proses transisi ini juga menjadi peluang bagi perbankan untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi, dengan cara melakukan pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi hijau.
“DBS salah satu bank terdepan dalam ESG (environmental, social, and governance). Kita memberikan komitmen untuk mencapai net zero emission financing pada 2050. Dan DBS Group memberikan komitmen membiayai sebesar SGD50 miliar untuk green financing hingga 2024. Per hari ini, sudah SGD35 miliar, jadi masih ada SGD15 miliar. Progresnya sangat bagus, dan kita juga sekarang mulai mengurangi financing ke sektor-sektor yang memproduksi karbon,” ujar Kunardy kepada Infobank di Nusa Dua, Bali, 14 Juli 2022.
Kunardy menegaskan, Indonesia memang membutuhkan energi untuk mendukung pembangunan. Energi yang bersumber dari batu bara memang pilihan paling murah. Green energy memang lebih mahal. Transisi menuju energi terbarukan harus dimulai dari sekarang. Perbankan juga harus berkontribusi dalam mendorong penggunaan renewable energy. Dari sisi perbankan, DBS melihat transisi menuju energi hijau mencakup 3 faktor, yakni divestasi, diversifikasi dan dekarbonisasi.
Dari sisi pembiayaan atau kredit, DBS menawarkan beberapa skema atau instrument terkait sustainability financing. Di antaranya sustainability linked bonds dan sustainability linked loans. Misalnya financing untuk modal kerja. Pembiayaannya bisa digunakan untuk apa saja, tapi ada KPI yang diukur. Itu yang harus mereka penuhi. Ada juga pembiayaan untuk proyek yang green. DBS melakukan analisis terhadap proyek yang akan dibiayai, dan pembiayaannya khusus digunakan untuk proyek itu tersebut.
“Contohnya tahun lalu kami menjadi arranger untuk Jafta Comfeed Indonesia meluncurkan sustainability linked bonds. Mereka meng-issue bonds dalam US$ yang dihubungkan dengan sejumlah KPI yang harus mereka capai. Mereka akan membangun 7 atau 8 water recycling. Jadi bunganya bisa lebih rendah, tapi mereka harus memenuhi KPI yang sudah ditentukan. Sekarang investor banyak yang melihat sektor ekonomi hijau, dan mereka mau masuk investasi di situ,” jelasnya.
Senior Vice President Fixed Income Origination Treasury & Market DBS Indonesia, M Suryo Mulyono atau Tony menambahkan, DBS Indonesia mendukung pembiayaan transisi dengan mengembangkan sustainable finance dan transition framework taxonomy.
“Kita senang komunitas global juga mempunyai fokus ke sustainable finance. Kita salah satu bank yang sangat berkomitmen untuk mensupport agenda ini. Di Indonesia, kita tidak perlu khawatir kekurangan sumber pembiayaan berkelanjutan. Indonesia kaya sumber daya alam, banyak yang clean juga. Perkembangan jaman dan teknologi membuat akses ke renewable energy semakin lama semakin murah. Contohnya sollar panel. Kita juga punya geothermal. Itu potensi-potensi energi bersih yang bisa digarap di Indonesia untuk pembiayaan berkelanjutan,” tambah Tony. (*) Ari Astriawan