Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa negara-negara maju memberikan sinyal untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada level yang masih tinggi. Padahal, sebelumnya suku bunga global diprediksi akan mulai menurun mulai semester II 2024.
“Ada harapan bahwa suku bunga global ini maksudnya di negara-negara maju akan mulai menurun namun harapan ini mungkin akan sedikit direm,” ujar Sri Mulyani dalam BRI Microfinance Outlook 2024, Kamis 7 Maret 2024.
Bendahara negara ini menjelaskan bahwa sinyal penahanan penurunan suku bunga global ini dibahas dalam pertemuan G20 di Brazil beberapa waktu lalu.
“Dalam pertemuan G20 Brazil juga disebutkan bahwa bank sentral seperti Amerika atau The Fed maupun Eropa mereka akan melihat angka inflasi dan underlying faktornya yang masih dianggap cukup tinggi,” ungkapnya.
Baca juga: Terkuak! Ini Alasan BI Belum Berani Pangkas Suku Bunga Acuan
Pasalnya, memang inflasi global masih berada di level yang tinggi, meski sudah mengalami penurunan dibandingkan pada masa puncaknya, yakni tahun 2022-2023.
Adapun tingkat inflasi Amerika Serikat mencapai 3,1 persen secara tahunan (yoy) di Januari 2024, setelah sebelumnya meningkat sebesar 3,4 persen pada Desember 2023. Angka ini lebih tinggi dari ekspektasi pasar yang mencapai 2,9 persen.
“Oleh karena itu kebijakan suku bunga mereka policy rate-nya juga mungkin masih harus menunggu sampai bisa diyakinkan inflasinya turun, suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang panjang atau higher for longer ini tentu juga menekan inflasi,” pungkasnya.
Di sisi lain, fragmentasi dari global ekonomi melalui proteksi perdagangan (protectionism) juga semakin menekan. Salah satunya, PMI di berbagai negara masih mengalami kontraksi, yang menyebabkan GDP global tahun 2024 masih akan lemah atau belum pulih.
Baca juga: Suku Bunga Global Tinggi, Bikin Arus Modal Asing Keluar RI
“Di G20 menteri-menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Brazil membahas bagaimana isu global ini akan memengaruhi kinerja perekonomian tidak hanya negara-negara G20 namun juga dunia, proteksionisme dan juga suku bunga yang tinggi dikaitkan dengan stabilitas sistem keuangan dan juga kinerja dari lembaga lembaga-lembaga non-bank yang sekarang menjadi pusat perhatian dari regulator karena dianggap berpotensi menciptakan sebuah risiko baru bagi perekonomian global,” jelasnya. (*)
Editor: Galih Pratama