Oleh Setiawan Budi Utomo, Direktur Otoritas Jasa Keuangan
INGAT, Indonesia disebut-sebut hanya sebagai pasar empuk industri halal dunia? Produk halal asing membanjiri rak-rak kita, sementara produk lokal terseok menembus pasar global. Ironi ini menjadi cermin: negeri muslim terbesar di dunia, tapi hanya jadi ladang konsumsi, bukan pusat produksi.
Dulu, saat Malaysia membangun halal hub dan Dubai memimpin sertifikasi global, kita sibuk berdebat soal nomenklatur dan perizinan. Kita tertinggal. Tapi, kini, angin sedang berubah.
Bukan Lagi Alternatif, melainkan Arus Utama
Saat dunia Islam sibuk merayakan kebangkitan industri halal global, Indonesia justru diam-diam mencatat sejarah besar: Bank Syariah Indonesia (BSI) resmi membuka kantor cabang penuh di Arab Saudi. Di saat yang sama, lahir pula Danantara sebagai raksasa pengelola aset negara yang digadang-gadang menjadi motor penggerak ekonomi berbasis nilai. Kedua momentum ini bukan sekadar berita baik. Ini alarm peringatan: akankah kita sekadar bangga, atau benar-benar mengambil posisi terdepan?
Ekonomi syariah kini bukan sekadar “jalur alternatif” dalam perekonomian, namun mulai menjadi arus utama global. Aset keuangan syariah dunia kini bernilai lebih dari USD3,25 triliun. Sementara, konsumsi produk halal dunia mencapai USD2,29 triliun dan akan melonjak jadi USD2,8 triliun pada 2025. Ini bukan sekadar pasar. Ini adalah panggung kontestasi supremasi ekonomi masa depan.
Baca juga: Danantara Bakal Investasi di Sektor Kesehatan, Menkes Budi Bereaksi Begini
Indonesia: Raja Tanpa Takhta?
Ironisnya, Indonesia adalah rumah bagi populasi muslim terbesar di dunia, tapi justru belum mengambil peran sentral. Kita punya panggung, punya massa, bahkan punya naskah. Tapi, apakah kita siap menjadi aktor utamanya?
Lalu, masuklah Danantara dan BSI. Danantara membawa janji bombastis: potensi investasi US$618 miliar, kontribusi PDB nasional US$235,9 miliar, peluang ekspor hingga US$857,9 miliar. Ia bukan sekadar manajer aset, tapi arsitek kekuatan ekonomi baru dari energi bersih hingga industri halal berkelanjutan.
Sementara itu, BSI melalui ekspansinya di jantung dunia Islam, membuka akses langsung ke pasar halal Gulf Cooperation Council (GCC) yang bernilai ratusan miliar dolar. Lebih dari sekadar bank, BSI kini menjadi jembatan ekspor, investasi, dan pembiayaan syariah lintas negara.
Kita Mau Jadi Apa: Follower atau Shaper?
Tapi ingat, peluang besar selalu datang bersama jebakan. Tanpa keberanian dan arah yang jelas, Indonesia berisiko hanya menjadi pemasok bahan mentah dalam rantai halal global, bukan pemimpin pasar.
Karena itu, ada PR besar yang tak bisa ditunda. Satu, profesionalisasi pengelolaan aset syariah. Tak cukup hanya berniat baik, aset harus dikelola layaknya korporasi global yang efisien, transparan, dan berorientasi hasil. Dua, inovasi produk halal bernilai tambah tinggi. Kita harus naik kelas dari sekadar pengekspor bahan mentah ke produsen barang halal premium, mulai dari farmasi, kosmetik hingga teknologi.
Tiga, SDM syariah berkelas dunia. Kita butuh ahli syariah yang fasih bicara digitalisasi, keberlanjutan, dan daya saing global. Bukan hanya paham fikih, tapi juga strategi pasar. Empat, yang paling krusial, adalah mentalitas baru. Berhenti jadi follower. Kini saatnya Indonesia menjadi market shaper, yaitu pemain yang menentukan arah, bukan sekadar ikut arus.
Baca juga: Presiden Prabowo Panggil Bos Danantara ke Istana, Ini Pembahasannya
Menolak Jadi Penonton
Pintu sudah terbuka. Tapi, pintu tidak berarti apa-apa jika kita hanya berdiri menatapnya. Danantara dan BSI telah mengayunkan palu pembuka jalan. Pertanyaannya, apakah bangsa ini siap melangkah?
Di tengah tsunami ekonomi global yang penuh ketidakpastian, Indonesia punya peluang emas. Bukan untuk sekadar ikut pesta, melainkan menjadi tuan rumah ekonomi halal dunia. Pilihannya kini tegas: menjadi penggerak atau menjadi pengamat. Sebab, sejarah tidak berpihak pada mereka yang lambat. (*)










