Danantara, Baru Sebatas Jadi “Sound Horeg” Soal Tantiem dan Bonus

Danantara, Baru Sebatas Jadi “Sound Horeg” Soal Tantiem dan Bonus

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

PRESIDEN Prabowo Subianto telah menugaskan Danantara untuk melakukan transformasi struktural pada tata kelola BUMN yang disebutnya “tidak masuk akal”. Data yang disampaikan COO Danantara, Dony Oskaria, mengonfirmasi kegagalan sistemis: dari 1.046 entitas BUMN (termasuk anak dan cucu), hanya delapan perusahaan yang menyumbang 97 persen dividen, sementara 53 persen lainnya merugi dan membebani APBN hingga Rp50 triliun per tahun.

Diagnosis ini benar. Masalah BUMN Indonesia – overlapping, inefisiensi, dan lemahnya daya saing – memang akut. Rencana konsolidasi 1.046 entitas menjadi 228 entitas yang scalable dan kompetitif, khususnya di sektor logistik dan asuransi, merupakan langkah yang secara teori tepat. Namun, dalam ekonomi politik, yang terpenting bukan hanya what, tapi juga how dan who. Dan, di sinilah letak kegamangan publik.

Untuk itu, Danantara pun ingin efisien, salah satunya adalah melarang pembagian tantiem bagi komisaris. Kata COO Danantara, bisa mengirit uang Rp8 triliun. Tidak hanya itu. Rencananya, bonus dan tantiem direksi juga akan dipotong. Jadi, efisiensi mulai dari sini. Berhari-hari isu ini didendangkan bak “sound horeg” yang nyaring. Langkah ini juga sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip korporasi yang hidup di luar BUMN. Padahal, Danantara ingin bertindak sebagai korporasi yang selama ini berlaku. Tanpa dikenai pasal kerugian negara.

Cover Majalah Infobank edisi September 2025.

Awalnya, Danantara dibentuk untuk mengelola sebagian kekayaan negara guna meningkatkan nilai aset dan mendukung pembangunan. Namun, kini, ia menjelma menjadi “super holding” BUMN dengan kewenangan restrukturisasi, konsolidasi, bahkan likuidasi. Ini adalah lompatan kualitatif yang berisiko tinggi.

Baca juga: Danantara Terbitkan Patriot Bond Rp50 Triliun, Ini Besaran Yieldnya!

Pertanyaan mendasar, bagaimana tata kelola yang mengatur peran ganda Danantara sebagai pengelola investasi sekaligus operator aktif BUMN? Apakah tidak terjadi konflik kepentingan antara fungsi pengawasan dan eksekusi? Dalam perspektif makro-ekonomi, hal ini dapat mengaburkan batasan antara kebijakan publik dan korporasi.

Lalu, bagaimana rencana antisipasi dari ”cekikan utang” Woosh (PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC) – yang jadi beban PT Kereta Api Indonesia (KAI)? Beban utang ini akan meledak karena tidak sesuai dengan pendapatan, meski traffic Woosh cukup ramai. Tapi, karena beban utang besar tak bisa ditahan dengan pendapatan.

Sisi lain, sejak berdiri, Danantara lebih banyak mengumumkan rencana investasi besar – mulai dari pembelian pesawat, pembangunan 17 kilang minyak, hingga rencana utang USD10 miliar (Rp160 triliun). Namun, detailnya sangat minim.

Utang sebesar itu bukanlah mainan. Ia harus didukung oleh “investment plan” yang kredibel, dengan proyeksi “cash flow” yang mampu menutupi pembayaran pokok dan bunganya. Pertanyaan kritis, mengapa berutang dulu sebelum memiliki rencana investasi yang teruji? Apakah utang ini untuk investasi produktif atau sekadar menutupi lubang fiskal?

Seluruh pengelola Danantara adalah pegawai, bukan pemilik. Mereka mengelola uang rakyat. Karena itu, prinsip good governance – transparansi, akuntabilitas, independensi – harus menjadi harga mati. Sayangnya, hingga saat ini, publik tidak mengetahui: satu, kerangka investasi. Apa business plan Danantara? Bagaimana investment policy-nya? Bagaimana batasan sektor, risiko, dan ekspektasi return yang akan dicapai? Semua masih belum jelas. Pembelian pesawat Boeing juga masih perlu rasionalisasi. Bukan sekadar ide dari langit.

Dua, proses pengambilan keputusan. Siapa yang memiliki otoritas mutlak untuk menyetujui investasi? Apakah CEO, CIO, COO, atau board? Untuk itulah, transparansi diperlukan guna mencegah konsentrasi kekuasaan dan conflict of interest.

Tiga, akuntabilitas dan pengawasan. Siapa yang mengawasi sepak terjang? Dan, yang terpenting, siapa yang bertanggung jawab jika investasi gagal? Apakah ada mekanisme pertanggungjawaban finansial, perdata, bahkan pidana?

Tanpa governance yang kuat, Danantara berpotensi menjadi kendaraan investasi yang sangat berisiko. Bahkan lebih berbahaya dari masalah BUMN yang ingin diperbaiki. Sayangnya, saat ini, Danantara terlalu sibuk mengidentifikasi masalah dan mengkritik kinerja Kementerian BUMN sebelumnya. Seperti “sound horeg”– gaduh soal tantiem dan kebocoran, tapi tidak pernah memaparkan desain besar dan strateginya kepada publik.

Yang juga menimbulkan tanda tanya publik, bagaimana dengan sistem remunerasi dan bonus di tubuh Danantara sendiri? Apakah para direktur dan komisaris Danantara tidak akan menerima tantiem atau bonus dari laba BUMN yang dikelolanya? Pemilihan komisaris dan direksi pun harus berdasarkan meritokrasi, bukan politik. Publik masih meragukan independensi dalam pemilihan direksi dan komisaris.

Salah satu contohnya nyata, Silfester Matutina yang ditunjuk jadi komisaris ID Food, padahal terbukti bersalah dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Juga, para tim sukses yang tidak semua punya kompetensi. Ini bukan soal kompetensi tapi melanjutkan penyakit lama dengan pendekatan politik. Hasilnya tak akan berubah seperti ketika BUMN masih di bawah Kementrian BUMN jika polanya masih sama.

Sampai saat ini, design besar Danantara ke depan belum tampak terlihat jelas. Tapi, di tengah ”ngos-ngosan” dan program efisiensi, Danantara justru mengirim 36 bos BUMN untuk ikut pelatihan Top  Gun Leadership Camp Cohort 1 di IMD, Business School, Lausanne, Swiss. Kata Rosan Roeslani, program ini dirancang untuk memperkuat kapasitas kepemimpinnan global para eksekutif muda dalam mengelola Danantara. “Kami ingin memastikan talenta terbaik kami memiliki kapasitas kepemimpinan kelas dunia,” jelas Rosan kepada media beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu. Nah, di musim kemarau likuiditas, di mana aliran dana mengering dan suku bunga meninggi bagai terik yang menyengat, pemerintah menghadirkan sebuah proposal melalui pintu belakang. Namannya Patriot Bond. Sebuah surat utang yang dijajakan secara private placement khusus kepada para pengusaha nasional, dengan narasi membela tanah air. Targetnya Rp50 triliun dan oversubscribe.

Namun, bila dicermati spesifikasinya, instrumen ini ibarat menawarkan segelas “air keruh” dengan harga yang sama dengan air jernih di tengah dahaga. Yang mengejutkan, yield-nya disebut-sekat 2 persen di bawah BI Rate 5 persen, sehingga hanya menyentuh level 3 persen.

Angka yang sangat janggal jika dibandingkan dengan Surat Berharga Nasional (SBN) yang sekitar 6 persen atau deposito bank yang 4-5 persen. Lalu, apa sesungguhnya yang terjadi? Apakah ini bentuk halus dari “penodongan” struktural melalui private placement? Ataukah sebuah skema penggalangan dana yang keliru alamat? Jawabnya sudah bisa ditebak, ini produk tidak murni sesuai dengan kehendak pasar.

Baca juga: Stop Penjarahan Politik! Duh, Ketika Rakyat Miskin Dijadikan “Komoditas” Kekuasaan

Negara ini sudah terlalu sering gagal karena ambisi tanpa tata kelola. Danantara tidak boleh menjadi episode baru dalam drama inefisiensi dan kebocoran keuangan negara. Masyarakat butuh bukti, bukan wacana. Apa yang akan dikerjakan Danantara dan bagaimana road map-nya, segera dibuka ke publik. Dan, tentunya berapa rencana return-nya tahun 2025-2029 ini.

Danantara harus segera membuka kerangka governance-nya, merumuskan mandat dengan jelas, dan membangun sistem akuntabilitas yang independen. Jangan sampai Danantara menjadi masalah baru, setelah sebelumnya dikirim untuk menyelesaikan masalah.

Kita tidak butuh lagi “omon-omon”. Kita butuh tindakan nyata, transparansi, dan pertanggung-jawaban. Juga, publik tidak ingin mengulang kegagalan “Danantara Malaysia”- 1MDB yang remuk digelayuti korupsi karena campur tangan politik. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62