Diterbitkannya perintah eksekutif tersebut, diduga menyikapi pasca pertemuan antara Presiden Trump bersama Presiden China Xi Jinping di Florida. Namun secara garis besar, BI melihat ada tiga indikator yang dipergunakan AS dalam menentukan mana saja negara yang dianggap sudah merugikan.
Pertama, dari sisi perdagangan. Masing-masing negara yang memiliki surplus lebih dari US$20 miliar dengan AS, maka masuk sebagai negara yang masuk kriteria merugikan. Sementara yang kedua, transaksi berjalan di tiap negara yang mencetak surplus karena imbas dari neraca jasa yang positif.
Sementara yang ketiga, adalah negara-negara yang melakukan intervensi kurs mata uang secara terus menerus. BI menegaskan, pihaknya hanya akan berada di pasar ketika mata uang rupiah terjatuh dari fundamental yang sebenarnya. Jika sebaliknya, maka hal itu tidak akan dilakukan. (*)
Editor: Paulus Yoga