Cukup Kuatkah Stamina Bank dari Virus Moral Hazard NPL

Cukup Kuatkah Stamina Bank dari Virus Moral Hazard NPL

Paket Stimulus OJK memberi signal bahwa potensi loan at risk (LAR) akan meningkat. Plus, pertumbuhan kredit akan lambat. Apa yang harus dilakukan oleh bank-bank?
 
oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
 
KREDIT lockdown. Kredit akan terhenti akibat virus Covid-19 yang makin sulit dikendalikan. Jumlah pasien yang terpapar virus Covid-19 makin banyak. Tak peduli orang biasa, para pejabat pun terkena. Dunia usaha loyo, terutama sektor pariwisata, dan  UMKM pun limbung. ”Stop kredit baru, dan kalau toh ada adalah perpanjangan kredit dari nasabah lama saja,” kata seorang direktur kredit lewat saluran telepon.

Awal tahun kredit hanya sedikit bergerak. Menurut data Bank Indonesia, per Januari 2020 kredit hanya  bergerak 5,7 persen (yoy) atau turun tipis dari Desember 2020 yang 5,9 persen. Sementara data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 6,10 persen. Ada perbedaan di antara data keduanya. Namun intinya sama-sama turun dibandingkan periode sebelumnya.

Nah, karena kredit turun, maka non-performing loan (NPL) menjadi naik. Data OJK menunjukkan, NPL gross naik dari 2,53 persen menjadi 2,77 persen. Itu data Januari, bukan tak mungkin kredit yang melambat, maka NPL pun bergerak lagi. Apalagi, efek Covid-19 dari China sedang puncak-puncaknya di Februari 2020 lalu.

Ada empat point besar dalam relaksasi oleh OJK ini (POJK 11/POJK.03/2020). Satu, penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lainnya hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/bunga untuk kredit sampai Rp10 miliar. Dua, relaksasi pengaturan ini berlaku untuk debitur non-UMKM dan UMKM, dan akan diberlakukan sampai dengan satu tahun setelah ditetapkan. Tiga, restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Kententuan restrukturisasi ini dapat diterapkan bank tanpa batasan plafon kredit. Empat, mekanisme penerapan diserahkan masing-masing bank dan disesuaikan dengan kapasitas membayar debitur.

Restrukturisasi Kredit: Mewaspadai Debitur Pura-Pura Macet

Paket relaksasi ini jelas menguntungkan dan memberi kemudahan bagi bank-bank. Bank-bank yang digulung kredit bermasalah bisa sedikit “pura-pura” sehat, karena potretnya tidak sesungguhnya. Retrukturisasi dari paket ini memberi lipstick bagi performa bank untuk sementara. Meski demikian, menurut Infobank Institute ada tiga masalah besar yang harus diselesaikan oleh bank-bank menghadapi stimulus dari OJK. Pertama, ada peningkatan loat at risk (LAR) bank-bank. Dua, mekanisme dalam pelaksanaan restrukturisasi. ”Apakah nasabah benar-benar tidak mampu melunasi angsuran, atau hanya penumpang gelap dari paket ini. Moral hazard harus diwaspadai,” kata seorang bankir kepada Infobank.

Tiga, adalah menyangkut sosialisasi ke debitur. Soal sosialisasi inilah yang paling penting. Jika gagal melakukan sosialisasi terhadap “paket gratis” setahun bayar utang ini akan banyak kredit macet borongan. ”Mendadak akan muncul kredit macet secara tiba-tiba,” lanjutnya. Jadi, pejabat publik dan tokoh masyarakat tidak menjadi kompor untuk tidak bayar utang ke bank.

Saat ini, banyak video viral tokoh masyarakat untuk tidak bayar pinjaman. Salah satu yang viral adalah imbauan Walikota Bengkulu untuk tidak membayar pinjaman. Padahal, paket itu ditujukan bagi mereka yang terkena dampak. Dan, benar-benar tidak mampu membayar angsuran.

Untungnya, soal restrukturisasi kredit ini mekanismenya diserahkan kepada masing-masing bank. Apakah akan dilakukan restrukturisasi atau tidak. Pengalaman selama ini, untuk apa dilakukan restrukturisasi, jika prospek saja tidak ada, dan sudah tidak bayar angsuran.

Boleh jadi, diperkirakan bank-bank akan tetap ketat. Tetap selektif melakukan restrukturisasi. Tidak akan sembarang melakukan restrukturisasi bagi bank-bank yang NPL nya rendah. Tapi, untuk bank-bank yang sudah sejak awal terkena NPL, dampak Covid-19 akan semakin mencekik bank-bank.

Sementara, menurut Infobank Institute, pelonggaran Giro Wajib Miniumun (GWM) baik rupiah maupun valas, jujur saja membuat likuiditas perbankan banjir. Bank-bank BUKU 3 dan BUKU 4 yang tahun lalu ketat, kini kembali longgar bahkan bank BUKU 2 juga sedikit longgar. Hanya memang bank BUKU 1 dan kelompok BPR yang sedikit lebih ketat.

Pelonggaran kebijakan moneter, seperti penurunan suku bunga, pengalaman tidak banyak membantu mendorong kredit. Meski ada, tapi untuk saat ini – di mana sektor riil – UMKM terkena dampak paling besar tidak membantu. Jadi, pemerintah lah yang harus menjaga daya beli masyarakat. Sektor riilnya yang sedang sakit dan sekarat.

Ada Enam Strategi: Lakukan dengan Cepat Menangani NPL

Hampir semua bankir yang dihubungi oleh Infobank menyebut. Untuk kredit baru lockdown dulu, atau sangat selektif. Hal paling penting dilakukan oleh bank, setidaknya ada enam strategi. Pertama, menjaga kualitas kredit agar tidak turun. Data Biro Riset Infobank menyebutkan, LAR perbankan masih double digit dikisaran 10-11 persen. Angka ini dipastikan naik dengan kisaran 12-14 persen.

Dua, bank-bank tidak menunda melakukan restrukturisasi kredit. Kata seorang bankir, makin cepat makin bagus. Soalnya, membiarkan debitur “batuk-batuk” akan makin sulit melakukan restrukturisasi. Pengalaman, banyak debitur yang lari dan sulit dihubungi begitu beban pinjaman makin besar. Hal yang perlu diwaspadai, jika debitur main di Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Tiga, mempertahankan net interest margin (NIM) – agar tetap terjaga tingkat perolehan laba. Bank-bank harus menjaga cost of fund dan mengendalikan biaya operasional. Dua hal itulah yang paling besar memengaruhi NIM bank-bank. Sebab, situasi sekarang sulit untuk menaikan suku bunga kredit – yang ada memberi keringanan bunga – agar kredit tetap lancar.

Hal yang keempat, likuiditas – meski sekarang likuiditas membajir. Bank-bank setidaknya perlu menjaga brankasnya agar tidak mismatch akibat turunnya cash flow karena rendahnya pendapatan bunga. Bank-bank setidaknya menjaga brankas dari gangsir bank tetangga.

Pengalaman, jika ada bank yang memburuk, atau ditutup, maka terjadi psikologis nasabah untuk pindah bank.”Jadi, perlu dijaga nasabah-nasabah ini dengan pendekatan yang lebih personal,” kata seorang bankir yang pernah terkena rush di tahun 2008 lalu.

Lima, melakukan evaluasi kembali tentang risk management. Risk management bank-bank harus ditambah soal pandemic virus yang selama ini tidak terpikirkan. Jor-joran kredit cukup sudah, hanya karena dorongan dari OJK agar target pertumbuhan kredit tercapai.

Langkah keenam, bank-bank melakukan stress test. Asumsinya, jika nilai tukar rupiah mencapai kondisi Rp16.000 sampai Rp20.000. Juga, dengan asumsi lamanya penanganan Covid-19 ini. Atau, taruh saja selama setahun ini, apa yang terjadi terhadap bank-bank.

Nah, menurut hasil simulasi Infobank Institute dengan asumsi terjadi kanaikan NPL sebesar 2-3 persen, maka akan ada 4 bank yang rusak serius. Pemilik harus menyetor modal, karena posisi capital adequacy ratio (CAR) di bawah 8% dan NPL di atas 5 persen. Bank-bank itu, sebelum Covid-19 — masih menyelesaikan babak konsolidasinya.

Jadi, titik penting dalam menyikapi NPL ini, menghindari penumpang gelap – yang pura-pura macet. Pengalaman sebelumnya, jika ada krisis selalu aja ada dua debitur, yaitu debitur yang benar-benar macet dan debitur yang pura-pura macet. Di sinilah, petugas bank dibutuhkan untuk mengetahui lebih detail dengan turun ke lapangan. Dan, biasanya akan ketemu mana kredit yang bagus atau kredit karbitan.

Kuda-kuda perbankan pada akhirnya akan ditentukan bagaimana bank-bank mengelola kredit bermasalah ini. Selamat datang LAR yang tinggi. Semua pihak juga harus menjaga psikologis penabung — agar tidak mengambil uang secara tiba-tiba. Para pejabat tidak asal ngomong yang akibatnya menimbulkan kepanikan nasabah. Pengalaman, confidence harus, tapi over confidence bisa berbalik arah.

Sebab, sebesar apapun bank, jika ditinggalkan nasabah pasti “kelojotan”. Jangan lagi jumawa, kalau CAR yang tinggi menjadi jaminan mutu tidak akan kena badai. Situasi sekarang yang paling penting menjaga psikologis nasabah. Apalagi, kalau menyangkut psikologis –serangan bisa datang tiba-tiba dan mematikan.

Jadi, jangan “celometan” kalau ngomong ke publik — hanya karena ingin menyenangkan Presiden Jokowi saja. (*)

Related Posts

News Update

Top News