Jakarta – Subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang bertujuan membantu golongan menengah ke bawah, mendapat kritik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Menurut mereka, banyak kasus subsidi BBM justru membawa kerugian dalam sejumlah aspek.
Ardhi Wardhana, peneliti ekonomi CSIS mengatakan, salah satu permasalahan subsidi BBM adalah banyaknya masyarakat golongan atas yang memanfaatkan kebijakan ini. Artinya, target pemerintah untuk mensubsidi golongan bawah belum tentu tercapai.
“(Subsidi BBM) malah meningkatkan inequality. Kenapa? Karena, orang-orang yang di desil bawah konsumsi yang tidak sebesar dari desil atas, tapi di desil atas juga menikmati apa yang seharusnya tidak dia terima,” ungkap Ardhi pada Senin, 19 Agustus 2024.
Baca juga: Survei CSIS: Kepuasan Kinerja Jokowi 74 Persen, Kasus Korupsi Masih jadi Catatan
Lebih lanjut, CSIS memproyeksi subsidi dan kompensasi energi, termasuk BBM, bisa memakan lebih dari Rp520 triliun pada 2024 ini. Sebagai perbandingan, jumlah ini sudah menyentuh seperenam dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang berada di angka Rp3.325,1 triliun.
Belum lagi, harga BBM yang volatile dan tidak stabil, mengikuti kondisi geopolitik global. Indonesia sendiri banyak mengimpor BBM dari luar. Untuk itu, CSIS meminta pemerintah mengkaji ulang subsidi BBM, demi menghindari risiko-risiko tersebut.
“Subsidi (BBM) itu perlu dikaji ulang, atau mungkin lebih jauh lagi, direformasi. Sehingga, dua permasalahan tadi, yaitu formulasi subsidi yang volatile dan masalah regresivitas yang tidak tepat sasaran itu akhirnya bisa terobati,” kata Ardhi.
Pihak CSIS sendiri juga sudah membuat dua skenario jika pemerintah menghapus subsidi BBM. Skenario pertama, yaitu dengan menyesuaikan harga pertalite dan solar dengan kondisi pasar, dengan subsidi maksimal Rp3.000.
Lalu, skenario kedua, yakni memberikan harga tetap terhadap solar dan pertalite, dan meningkatkan persentase harga sebesar 10 persen per tahun, dengan subsidi se-minimal mungkin.
Hasilnya, negara akan mendapat dana segar sekitar Rp85 triliun hingga Rp91 triliun. Dana segar tersebut bisa dipakai untuk memperluas ruang gerak fiskal. Jumlah ini akan meningkat menjadi Rp150 triliun, jika subsidi terhadap gas LPG juga diminimalisir.
“Bayangkan ketika kita punya ruang fiskal yang begitu besar. Program-program yang ingin dijalankan atau diciptakan oleh pemerintahan baru, mungkin akan lebih berpeluang untuk bisa dilaksanakan,” tutur Ardhi.
Reformasi BBM
Meskipun begitu, bisa dipahami bahwa masyarakat belum tentu bisa menerima penghapusan subsidi BBM. Terlebih, masih banyak golongan menengah ke bawah yang bisa terdampak dengan hilangnya subsidi BBM.
Tetapi, Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif CSIS, berujar kalau inilah momen yang tepat bagi pemerintah untuk mereformasi harga BBM. Ini disebabkan, inflasi di Indonesia masih di kisaran 2,5 persen, yang menurutnya, berada di persentase yang bisa dikendalikan perekonomian.
“Kenaikan inflasi ini masih bisa ditanggung oleh perekonomian. Karena, inflasi kita berada di kisaran 2,5 persen. Sehingga, tambahan inflasi 1 persen atau beberapa persen lagi masih bisa diserap perekonomian,” papar Yose.
Lebih dari itu, Yose menjelaskan, dampak dari inflasi ini akan menghilang dalam beberapa bulan. Dan, pemerintah juga bisa berperan dalam meminimalisir dampaknya terhadap masyarakat, seperti dengan menyalurkan bantuan tunai langsung (BLT) untuk mereka yang membutuhkan.
Diharapkan, bantuan-bantuan ini bisa menjadi shock absorber dalam penyesuaian reformasi BBM, serta bisa memberikan masyarakat waktu dalam menyesuaikan harga BBM.
“Mudah-mudahan, BLT bisa memberikan semacam shock absorber terhadap dampak dari penyesuaian-penyesuaian, ketika reformasi dilakukan. Dan hal ini seharusnya bisa dilakukan dalam beberapa bulan saja,” tukasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso