CSIS: RUU P2SK Ancam Independensi BI, OJK dan LPS

CSIS: RUU P2SK Ancam Independensi BI, OJK dan LPS

Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah saat ini tengah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) atau Omnibus Law Sektor Keuangan. RRU P2SK diharapkan dapat memperkuat sektor keuangan dan perekonomian secara optimal sehingga mampu mengatasi krisis.

Namun, dalam RUU P2SK masih terdapat beberapa pasal bermasalah yang dapat mengancam independensi lembaga otoritas keuangan dan menimbulkan masalah pelik di masa depan.

“Bukannya mendorong penguatan lembaga dan sektor keuangan, RUU P2SK justru malah berpotensi melemahkan dan merusak stabilitas sistem keuangan yang telah terbentuk baik dan manfaatnya telah kita nikmati selama ini,” ujar Deni Friawan, Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS dalam Media Briefing CSIS, Kamis, 27 Oktober 2022.

Beberapa isu atau pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam RUU P2SK antara lain, pertama kekuatan absolut KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) dan peran sentral menteri keuangan. Dengan RUUP2SK ini memberikan kewenangan dan tugas yang besar kepada KSSK, dengan ketua Menteri Keuangan dalam penentu seluruh kebijakan, yang akan semakin meneguhkan kekuatan absolut dari KSSK.

Namun, ini berimplikasi untuk membuat lembaga otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga penjamin Simpanan (LPS) berpeluang mengurangi kewenangan dan mengamputasi independensi karena mereka harus patuh pada peraturan yang disepakati KSSK atas nama menjaga stabilitas sistem keuangan.

“Keputusan itu diambil berdasarkan musyarah mufakat tapi kalau musyawarah tidak ada oitu diambil dari voting banyak, permasalahannya dengan jumlah yang empat lembaga tersebut akan sulit mendapat suara single majority,” kata Deni.

Kedua, independensi lembaga otoritas keuangan seperti BI, OJK dan LPS juga diperlemah oleh adanya pengecualian anggota partai politik menjadi anggota dewan pimpinan, mekanisme pembentukan pansel dan prosedur pemilihan dewan pimpinan dan keberadaan dewan pengawas/supervisi setiap lembaga otoritas keuangan.

“Hal ini merupakan sebuah kemunduran yang luar biasa. Jika hal ini disetujui, pimpinan BI, OJK dan LPS dapat merupakan pengurus dan/atau anggota partai politik. Ketiga lembaga otoritas keuangan tersebut akan rentan diintervensi oleh partai politik, parlemen dan pemerintah,” jelas Deni.

Ketiga, multiple objectives Bank Sentral, pada draft RUU P2SK tugas Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral tidak lagi hanya memelihara stabilitas nilai tukar, memelihara stabilitas sistem pembayaran dan sistem keuangan, tapi ditambah dengan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Panambahan fungi BI tersebut sangat tidak perlu dan dapat kontra produktif, karena fungsi Bl yang ada saat ini sudah pas dan relevan sebagai bank sentral. Penambahan tugas BI malah akan semakin membebani BI dan menjadikannya tidak fokus. BI akan mengalami kesulitan untuk memenuhi semua fungi tersebut, karena seringkali masing-masing fungsi tersebut saling kontradiktif antara satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.

Ke empat, kewajiban penyesuaian suku bunga, terkait dengan perluasan fungsi dan tugas BI tersebut di atas, pada RUU P2SK dinyatakan kewajiban bank-bank umum untuk melakukan penyesuaian ambang batas suku bunga kredit perbankan sesuai dengan suku bunga Bank Indonesia paling lama 7 hari sejak ditetapkan penyesuaian suku bunga.

“Hal ini bukan hanya akan menggangu bekerjanya mekanisme pasar dalam penentuan suku bunga, tapi juga akan menimbulkan masalah-masalah baru pada system keuangan dan perbankan nasional,seperti pasar gelap ataupun hilangnya kepercayaan masyarakat,” imbuh Deni.

Kelima, permanen burden sharing (Pembelian SBN oleh BI). Guna meneruskan mekanisme berbagi beban atau burden sharing saat Pandemi Covid-19, RUU P2SK menambahkan pasal 36A dan 36B yang mengatur kewenangan BI untuk dapat membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan. Tanpa penjelasan yang lebih detail dan transparan tentang kapan ketentuan ini dapat diterapkan.

“Aturan ini dapat berpotensi disalahgunakan dan mengancam independensi BI. Desain RUU P2SK yang menempatkan posisi yang lebih kuat dibandingkan BI, OJK dan LPS, bersamaan dengan adanya multiple objectives dari BI, akan membuat BI tidak lagi independent. Ketentuan ini dapat menjadikan BI sebagai “sapi perah” pembangunan dan sumber pembiayaan politik anggaran pemerintah yang memaksa BI untuk mencetak uang lebih banyak tapa memikirkan keberlanjutan stabilitas perekononomian di masa depan, seperti tingkat inflasi yang tinggi dan krisis beban untang negara yang meningkat,” imbuhnya.

Terakhir, perluasan kewenangan OJK dan LPS. Selain menambah tugas/kewenangan Bank Indonesia, RUU P2SK juga menambah tugas dan kewenangan dari lembaga otoritas keuangan lain, yaitu OJK dan LPS. Tugas OJK akan bertambah yaitu turut melakukan pengawasan, pemberian izin, hingga mencabut izin operasional koperasi simpan pinjam. Sementara, kewajiban LPS kini ditambah bukan hanya menjamin simpanan dana masyarakat di perbankan, tapi juga menjamin polis asuransi.

“Penambahan tugas kedua lembaga otoritas keuangan ini akan menambah beban kedua lembaga tersebut yang telah memiliki beban tugas yang beat dan luas, sementara sumber daya yang mereka miliki juga terbatas. Tugas tambahan tersebut akan memecah fokus perhatian dan sumberdaya dari kedua lembaga tersebut,” tambah Deni.

Kemudian, bentuk lembaga penjamin polis, sebaiknya berdiri sendiri atau tidak perlu digabungkan dengan LPS. Demikian pula, kewenangan pengaturan dan pengawasan koperasi simpan pinjam lebih baik diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Koperasi dan UMKM. (*) Irawati

Related Posts

News Update

Top News