Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
BANK Bukopin Tbk (BBKP) akan memasuki babak baru. Ibarat “Drama Korea” sedang memasuki konflik paling tegang. Salah satu pemegang sahamnya mengancam menuntut pengawasnya. Padahal, sebelumnya sudah tampak tenang dengan masuknya Kookmin Bank yang kabarnya akan menambal Bank Bukopin berapa pun besarnya.
Diberitakan, Bosowa Corporindo, lewat Erwin Aksa mengancam menggugat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena pihak Bosowa selaku pemegang saham merasa pihak OJK mengarahkan ke Kookmin Bank. Pihak Bosowa menilai otoritas tidak konsisten dalam mengambil kebijakan pemulihan BBKP.
Singkatnya, pihaknya menilai OJK tidak konsisten kebijakan terutama pirihal perintah tertulis OJK kepada Bosowa untuk memberikan surat kuasa khusus kepada tim technical assistant dari BRI untuk mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank Bukopin.
Keputusan penting dalam RUPSLB akan terjadi. Penambahan modal tanpa memberi hak pemesahan saham lebih dulu atau private placement. Menurut Erwin Aksa kepada media, pihak OJK meminta Bosowa melalui tim technical assistance BRI untuk menyetujui seluruh saham baru yang diterbitkan untuk dibeli oleh Kookmin Bank Ltd.
Di situlah, Erwin Aksa merasa OJK tidak konsisten menerapkan kebijakan. Sebab, sebelumnya OJK melayangkan surat tertanggal 10 Juni dan 11 Juni 2020, yang isinya antara lain mengenai penunjukan BRI sebagai tim technical assistance.
Seperti diketahui Kookmin Bank selaku pemegang saham menyetor modal lewat, akhirnya memenuhi setoran modal.
Seperti diketahui, Kookmin Bank selaku salah satu pemegang saham, akhirnya menyetor dana sebagai tanda komitmen dan keseriusan membereskan urusan Bukopin. Kookmin Bank yang sebelumnya sudah punya saham di BBKP ini langsung menyetor US$200 juta. Uang itu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bukopin yang sejak Mei 2020 ditinggalkan nasabahnya. Bank-bank di masa kritis seperti itu, pemegang saham harus menyetor modal agar banknya tetap segar, dan bukan malah mengambil simpanannya jika ada.
Tidak hanya US$200 juta, sebab pada awal Juli 2020 lalu juga sudah setor US$40 juta, dan seperti diungkapkan oleh eksekutif Kookmin Bank, Korea Selatan dalam sebuah pertemuan dengan media, akan diikuti setoran modal lagi, hingga bleeding Bukopin berhenti. Namun pihaknya, minta jaminan kepastian usaha di Indonesia dalam investasi di Bukopin.
Hal ini wajar saja, kepastian investasi ini penting, bisa jadi karena ratusan warga Korea Selatan terperosok dalam investasi di Saving Plan Jiwasraya. Benar-benar bikin bingung investor Korea Selatan. “Mana mungkin milik Negara tidak bisa membayar kewajibannya?” demikian kata seorang investor Korea Selatan waktu itu.
Jadi masuknya Kookmin Bank ke Bukopin setidaknya bisa dilihat dari sisi kepercayaan investor terhadap sector keuangan sudah pulih. Kehadiran Kookmin Bank dapat menghapus karaguan investor Korea Selatan yang kecewa akibat investasi di Jiwasraya yang nota bene milik Negara. Itulah yang setidaknya dijaga oleh semua pihak, jangan sampai Kookmin Bank ketakutan lagi akibat ketidak pastian dari pemerintah sendiri, atau dari berbagai pihak.
Karena itu, langkah yang diambil OJK adalah memanggil pemegang saham. Pada 29 Mei 2020, seperti dikabarkan sudah tidak sanggup untuk menambah modal akibat serbuan nasabah yang bertubi-tubi. Akhirnya, OJK dengan perintah tertulis agar pemegang saham lainnya untuk masuk menyetor modal dan komitmennya.
Langkah OJK ini, setidaknya dapat dilihat sebagai langkah penyelamatan industri perbankan. Di zaman krisis dan ramainya pasar rumor, sedikit saja ada rumor dan terganggunya psikologis nasabah akan menimbulkan dampak sistemik, meski bukan bank sistemik.
Sekecil apa pun, pengalaman krisis tahun 1998 dan 2008, jika ada bank gagal di masa krisis maka aka nada efek domino. Itulah yang sepertinya hendak dituju oleh OJK. Sebab, bagi OJK, siapa pun yang mampu menyetor modal untuk penyelamatan bank, itulah yang dipilih. Apalagi, Kookmin Bank merupakan salah satu pemegang saham.
Bisa jadi pula, jika pada waktu sebelum Kookmin Bank masuk menyetor modal, dan pihak Bosowa Grup menyetor modal, cerita juga lain. Tentu pihak Bosowa (23%) akan menjadi pemegang saham pengendali lagi, dan sahamnya lebih besar dari yang dimiliki oleh Kookmin Bank (37%). Tentu setelah private placement dimana Kookmin Bank akan membeli kembali, maka kepemilikan saham Bosowa di BBKP akan menyusut.
Pada akhirnya sebuah bank membutuhkan modal yang kuat untuk berkembang. Siapa pun pemilik bank itu. Bank harus berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang dapat mendorong ekonomi nasional. Mazhab yang dianut bukanlah pada batasan kepemilikannya, tapi pada peran intermediasinya. Apalagi, tidak ada aturan yang dilanggar dalam kepemilikan bank yang bisa sampai 99%.
Siapa pun boleh punya bank. Pemilik bank juga harus lulus fit & proper test dari OJK. Di situ termasuk asal usul uang, dan kemampuan kantongnya dalam memenuhi kebutuhan modal bank. Tidak hanya itu, apakah pula investornya kredibel atau tidak. Kredibilitas investor ini bisa dilihat dari apakah punya kredit macet atau tidak? Aturan OJK ini untuk melindungi kepentingan bank yang sebagian besar dananya milik masyarakat.
Untuk Kebaikan Bukopin Sendiri
Bank butuh modal kuat, apakah asing, “aseng” (swasta) atau “asep” (BUMN) harusnya tidaklah masalah, seperti Bank Bukopin yang penting kembali sehat, tanpa hiruk pikuk. Sebab, jika “serial Drama Korea” ini terus diputar, maka pada akhirnya yang sulit juga Bukopin sendiri. Sudah waktunya pula semua pihak membantu suasana adem di Bukopin yang masuk masa pemulihan dengan kucuran yang sudah mencapai US$240 juta.
Dan, lebih penting dari itu, tanpa membela siapa siapa, demi masa depan Bukopin sendiri sudah harusnya politisasi dan kriminalisasi terhadap penyehatan atau pemulihan bank dihentikan. Jangan sampai, kasus Century yang dipolitisasi dan dikriminalisasi terjadi di Bukopin dalam wajah yang berbeda. Bank Century (2009-2014) tak pernah keluar dari kemelut likuiditas. Jangan sampai berulang di Bukopin.
Mari bersama menjaga jangan sampai penyehatan bank masuk pusaran politisasi dan kriminalisasi. Jika Bukopin kembali segar bugar, maka industri perbankan juga akan kembali pulih. Itulah hakekatnya penyehatan bank, bukan menyelamatkan pemilik bank, tapi menyehatkan industri perbankan.
Langkah OJK adalah untuk penyehatan industri perbankan. Pihak OJK tampaknya hanya melihat komitmen investor demi penyelamatan Bukopin. Untuk itu, mari mencegah politisasi dan kriminalisasi kebijakan dalam memulihkan kepercayaan Bukopin. Kegaduhan terhadap Bukopin tidak hanya merugikan bagi Bukopin sendiri dimasa pemulihan, tapi bagi industri perbankan sekaligus bagi kepastian usaha di Indonesia.
Sudah waktunya “drama” Bukopin berakhir demi masa depan Bank Bukopin sendiri. (*)