Cegah Fraud, Asuransi Wajib Cermati Karakter Nasabahnya

Cegah Fraud, Asuransi Wajib Cermati Karakter Nasabahnya

Jakarta – Industri asuransi di Indonesia tengah dihadapkan oleh beberapa kasus kecurangan klaim asuransi oleh nasabah yang berujung di meja hijau.  Dengan dalih menjadi nasabah dengan nilai asuransi yang berjumlah besar, nasabah kemudian berpura-pura atau mengkondisikan dirinya sakit dengan tujuan mendapatkan klaim asuransi yang besar. Demi tujuan itu, praktik-praktik ilegal pun ditempuh dengan mengajukan bukti-bukti yang tidak sah. 

Menanggapi persoalan tersebut, pengamat asuransi Irvan Rahardjo pun mengatakan, kondisi seperti itu dapat menimbulkan kegamangan di industri asuransi. Contohnya, seperti pada kasus yang ramai diberitakan media massa tentang pemalsuan dokumen klaim asuransi yang menjerat seorang advokat Alvin Lim (AL) dengan tuduhan memfasilitasi pembuatan identitas palsu dua nasabah dengan menggunakan alamat rumahnya.

Pasalnya, kedua nasabah tersebut telah dijatuhkan vonis oleh hakim dengan putusan NO.914/Pid.B/2018/PN.JKT.SEL.  Adapun advokatnya telah berstatus terdakwa dengan nomor perkara 1036/Pid.B/2018/PN.JKT.SEL namun beralasan sakit hingga membuat sidang terus tertunda, maka hakim mengambil tindakan Niet Ontvankelijke verklaard (NO) atau kasus dikembalikan ke Kejaksaan pada Rabu (20/11) lalu.

“Dalam prakteknya bisa terjadi hal seperti ini, bahwa ada perilaku menyimpang dari individu, semisal nasabah dan advokat bekerja sama dengan orang dalam.  Karenanya, perusahaan asuransi harus lebih jeli dan teliti melihat karakter calon tertanggung. Semisal ada seseorang dengan secara tiba-tiba ingin asuransi dalam jumlah besar namun anehnya tidak sebanding dengan jumlah penghasilan dia,” ujar Irvan seperti dikutip di Jakarta, Minggu, 24 November 2019.

Selain itu, kecurangan juga bisa terjadi dengan klaim ganda (double claim). Untuk itu, Mantan Komisaris Independen AJB Bumiputera 1912 tersebut juga mengungkapkan bahwa pihak asuransi harus betul-betul mencermati karakter nasabahnya mulai dari kehidupannya, perilaku kreditnya, hingga ke status BI Check yang bersangkutan.

“Modus lainnya yang perlu di awasi adalah jika sewaktu-waktu ada perubahan nilai stok yang semula normal tiba-tiba melonjak tinggi,” ucapnya.

Bahkan, dirinya juga menyayangkan jika permasalahan klaim asuransi membuat perusahaan asuransi digiring ke ranah hukum pindana, yang seharusnya berstatus perdata.

“Ini bisa menimbulkan ketakutan atau kegamangan terutama bagi eksekutif asuransi di Indonesia. Karena dalam kasus ini perusahaan asuransi dipidanakan, yang kemudian ternyata diduga pengacara dan nasabahnya pun juga melakukan fraud kan? Jadi ini di satu sisi bisa menimbulkan kegamangan perusahaan asuransi untuk menjamin nasabah karena dipidanakan, yang seharusnya bersifat perdata,” katanya.

Fraud asuransi seperti kasus pemalsuan dokumen klaim asuransi advokat dan nasabahnya itu menjadi satu dari sekian banyak kejahatan asuransi di Indonesia dan juga negara lain. “Di negara lain sangat banyak terjadi, tidak cuma di Indonesia,” tegas Irvan.

Grafiknya kemungkinan merangkak naik seiring berkembangnya industri asuransi di Indonesia. Terlebih lagi, lanjut Irvan, di industri asuransi umum atau asuransi jiwa yang seringkali mengalami kecurangan baik dari perorangan maupun sekelompok orang atau bekerjasama dengan pihak rumah sakit atau semacamnya.

Seperti yang pernah dipaparkan ke publik, bahwa Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendapati kasus kecurangan asuransi mengakibatkan industri asuransi merugi miliaran rupiah sepanjang tahun 2018. Jika ini tidak ditangani secara serius oleh pemerintah dan pihak terkait, maka akan berimbas kepada iklim investasi di bisnis ini. (*)

Related Posts

News Update

Top News