Jakarta – Kasus gagal bayar klaim yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai rentan terhadap keberlangsungan bisnis industri asuransi ke depannya. Hal ini lantaran para pemegang polis belum juga mendapatkan pencairan dana dari Jiwasraya.
Melihat kasus ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira meminta pemerintah selaku pemilik Jiwasraya untuk dapat mempercepat penyelesaian kasus tersebut baik secara struktural maupun secara hukum.
Salah satu hal yang diusulkan Bhima adalah Jiwasraya harus menerbitkan surat utang demi mendapatkan dana segar untuk membayar tunggakan klaim, meski hal itu akan dilakukan bertahap. Penerbitan ini bisa dilakukan melalui anak usaha barunya, yaitu Jiwasraya Putra.
“Lalu lakukan proses penegakan hukum yang lebih cepat terhadap oknum direksi yang lakukan fraud, miss management maupun dugaan korupsi yang rugikan negara,” ujar Bhima dalam keterangannya kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2020.
Selain itu, ia menilai penyertaan modal negara (PMN) dan pembentukan holding asuransi juga bisa menjadi solusi penyelamatan Jiwasraya. Namun, Bhima mengingatkan, penyelamatan lewat PMN banyak risikonya, pasalnya uang dari APBN itu bisa saja malah jadi “bancakan” .
“Nanti bukan untuk bayar polis tapi malah jadi fraud. Kita belajar dari kasus century, bailout justru berisiko memunculkan fraud baru,” paparnya.
Sementara terkait holding asuransi BUMN bisa jadi solusi asalkan dihitung dampak ke BUMN yang menanggung risiko Jiwasraya. “Solusi ini memang paling pahit, karena bumn keuangan yang sehat bisa jadi tumbal jiwasraya,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, penerbitan surat utang oleh anak usahanya, menjadi hal yang paling minim risiko untuk menyelematkan Jiwasraya segera mungkin. Hingga November 2019 ada 13.095 pemegang polis yang proses klaimnya tertunda dengan total nilai mencapai lebih dari Rp11,5 triliun.
“Jika penyelesaian berbelit belit dan proses nya lama bisa menimbulkan krisis kepercayaan yang sistemik ke seluruh sektor asuransi dan jasa keuangan di Indonesia. Orang akan kapok beli produk asuransi, ada semacam trauma,” tambahnya.
Sementara itu, untuk mengantisipasi kasus ini terulang lagi, Bhima juga mengapresiasi upaya regulator terkait bersih-bersih pasar modal yang belakangan gencar dilakukan.
Menurutnya, kasus Jiwasraya ini terjadi dari adanya dugaan oknum yang menjalankan praktik goreng-goreng saham yang pada ujungnya merugikan para pemegang polis Jiwasraya.
“Tugas OJK mengawasi praktik pembelian saham gorengan yang rentan manipulasi. Di sini pentingnya bersih bersih bank dan jasa keuangan BUMN. Jika ketahuan membeli saham gorengan, ada sanksi untuk direksinya. Itu kewenangan OJK,” pungkas dia.
Berdasarkan catatan OJK, kasus ini dimulai pada 2004, dimana perusahaan sudah memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp2,76 triliun. Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban. Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp5,7 triliun dan Rp6,3 triliun pada 2009.
Kemudian, langkah untuk re-asuransi membawa nilai ekuitas surplus Rp1,3 triliun per akhir tahun 2011. Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY).
Pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Laporan keuangan tahun itu masih positif, pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun, meskipun perusahaan terkena denda sebesar Rp175 juta.
Namun pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya mendapati adanya penurunan pendapatan premi karena guaranteed return JS Saving Plan juga turun. Pada Mei 2018, Jiwasraya mengalami pergantian direksi. Direksi yang baru menyampaikan ada hal yang tidak beres terkait laporan keuangan perusahaan kepada Kementerian BUMN.
Menurut hasil audit KAP (pada laporan keuangan 2017), ada koreksi laporan keuangan interim dari yang semula Rp2,4 triliun menjadi Rp428 miliar. Laporan audit BPK tahun 2018 juga menyebutkan bahwa perusahaan berinvestasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi.
Lalu pada Oktober 2018, perusahaan mengumumkan ketidaksanggupannya membayar polis nasabah JS Saving Plan senilai Rp802 miliar. Adapun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko sebesar 120 persen, Jiwasraya butuh modal Rp32,89 triliun. Sementara, aset perusahaan tercatat senilai Rp23,26 triliun, tapi kewajibannya mencapai angka Rp50,5 triliun. Ekuitas negatif Rp27,24 triliun dan liabilitas produk JS Saving Plan mencapai Rp15,75 triliun hingga sekarang. (*)