oleh Dr. Ary Zulfikar SH. MH
SEJAK awal kasus BLBI sudah menimbulkan kontroversi. Kenapa kontroversi? Judul yang mengemuka di media adalah “Kasus BLBI”, tapi yang dijadikan dasar kerugian negara adalah hasil laporan investigatif BPK tahun 2017 yang menyatakan bahwa Negara dirugikan sebesar Rp4,58 triliun akibat penjualan Utang Petambak (nilai buku Rp4,8 triliun) dengan harga sebesar Rp220 miliar yang terjadi pada tahun 2007, padahal SAT sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua BPPN sejak tahun 2004 atau tepatnya sejak BPPN dinyatakan bubar pada tanggal 30 April 2004. Lantas kenapa harus Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang harus jadi korban pertanggungjawaban? Kenapa “kerugian” akibat penjualan Hutang Petambak disebut “Kasus BLBI”? Apakah sih sebenarnya BLBI? Siapakah biangnya BLBI? Kapan terjadi BLBI? Kenapa harus dikaitkan dengan SAT? Atau apa hubungannya dgn Sjamsul Nursalim?
Perjalanan Kasus SAT dapat diuraikan sebagai berikut. BLBI terjadi pada periode tahun 1997 – 1998. Kenapa disebut BLBI? karena BLBI adalah Bantuan Likuiditas yang berasal dari Bank Indonesia (BI). Pemberi pinjaman adalah BI, bukan BPPN, dan SAT bukanlah pihak yang memberikan BLBI, karena SAT bukanlah Gubernur BI.
BPPN berdiri tanggal 26 Januari 1998 pada saat Soeharto masih sebagai Presiden RI akibat krisis kepercayaan pada sistem perbankan. BPPN ditugaskan untuk memulihkan sistem perbankan dan menyelesaikan aset dari Bank-bank yang diserahkan oleh BI, termasuk BDNI. Dan SAT bukanlah Ketua BPPN yang menjabat saat menerima BDNI dari BI sebagai bank gagal pada bulan Agustus 1998.
BDNI diserahkan oleh BI kepada BPPN pada tanggal 3 April 1998 karena kegagalan pengawasan Bank. BDNI dibekukan oleh BPPN pada tanggal 21 Agustus 1998 dan karenanya menjadi Bank Beku Operasi (BBO). Dan SAT, saat itu juga belum menjabat sebagai Ketua BPPN.
Sehari sebelum BDNI ditetapkan sebagai Bank BBO, pada tanggal 20 Agustus 1998, Pemerintah cq BPPN telah membuat suatu nota kesepakatan dengan Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI untuk bertanggung jawab atas kerugian BDNI. Bagaimana cara menghitung kerugian BDNI? BPPN saat itu melakukan perhitungan antara nilai aset dan kewajiban BDNI. Atas perhitungan BPPN, dan disepakati oleh PSP BDNI, maka muncullah angka “Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS)”, yaitu sebesar Rp28,4 triliun. SAT juga bukan Ketua BPPN yang ikut menyepakati jumlah JKPS PSP BDNI pada saat itu.
Dengan berbekal kesepakatan tersebut, Pemerintah kemudian membuat dan menandatangani “Perjanjian Penyelesaian” dalam bentuk “Master Settlement & Acquisition Agreement (MSAA)” pada tanggal 21 September 1998. MSAA dalam bahasa sederhana pada dasarnya adalah “Perjanjian Pengakuan Utang yang diselesaikan dengan cara penyerahan aset”. Kenapa disebut “pengakuan utang”, karena kewajiban BLBI adalah kewajiban BDNI, bukan kewajiban Pemegang Saham Bank, sehingga untuk dipindahkan menjadi tanggung jawab Pemegang Saham (PS) melalui mekanisme “pengakuan utang”. Sedangkan kenapa disebut “penyerahan aset”? Karena akibat dari pengakuan utang, PS diminta menyerahkan aset yang dimilikinya untuk membayar jumlah utang yang diakuinya?
Pertanyaan selanjutnya, kenapa Pemerintah harus membuat “perjanjian perdata” dalam bentuk MSAA dengan Pemegang Saham Pengendali BDNI (PSP BDNI)? dan bukan melakukan tuntutan pidana kepada pemegang saham yang menyebabkan kerugian bank? Lagi lagi, kendalanya adalah penegakan hukum, apalagi saat itu Negara sedang perlu uang karena sedang dilanda krisis keuangan. Oleh karenanya, perlu tindakan recovery cepat, sedangkan melakukan penuntutan pidana diperlukan “pembuktian”. Saat itu, tidak gampang untuk melakukan penuntutan kepada pemegang saham, apalagi belum ada delik pidana dalam UU Perbankan untuk menjerat Pemegang Saham (PS) saat itu. Ingat istilah “Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali”, tidak ada pidana, tanpa peraturan yang mendahuluinya.
Nah, karena ada risiko tuntutan ke pengadilan dan juga belum tentu akan menang serta akan memakan waktu yang berlarut-larut, maka Pemerintah kemudian mengambil opsi “out of court settlement“, yaitu membuat suatu kesepakatan perdata dengan pemegang saham yang kooperatif dan Sjamsul Nursalim pada saat itu merupakan salah satu pemegang saham yang kooperatif, karena mau membuat dan menandatangani perjanjian MSAA. Saat itu, banyak juga pemegang saham bank yang tidak kooperatif dan juga belum dilakukan tindakan hukum oleh aparat penegak hukum. Lagi lagi SAT juga belum menjabat sebagai Ketua BPPN.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah Pemerintah boleh menandatangani Perjanjian Perdata? Apakah Pemerintah harus tunduk pada perjanjian perdata? Tentunya Pemerintah sebagai Subyek Hukum Publik dapat membuat perikatan perdata dan juga harus tunduk pada perikatan tersebut. Ingat prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu para pihak harus menghormati hukum yang dibuat melalui perjanjian, karena berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya (vide Pasal 1338 KUHPerdata). Dalam konteks ini, Pemerintah masuk ke ranah perdata, bukan ranah pidana. Karena jumlah JKPS adalah hasil kesepakatan. Jika ternyata kurang, ya tagih aja secara perdata. Tanpa ada MSAA suatu perjanjian perdata tidak akan pernah muncul angka kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp28,4 triliun.
Faktanya, Pemerintah telah sepakat menandatangani MSAA, dan bahkan MSAA telah direvisi dan adendum selama 5 kali terakhir pada tanggal 25 Mei 1999. Dan pada tanggal yang sama juga, Pemerintah cq BPPN (GMS dan FH) menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam bentuk Release & Discharge (“R&D”), dan bahkan dibuat dalam bentuk Akta Letter of Statement No. 48 (“Akta Notaris No. 48”) yang dibuat dihadapan Notaris. R&D dan Akta Notaris No. 48 adalah bukti penyelesaian kewajiban Sjamsul Nursalim berdasarkan MSAA pada tanggal 25 Mei 1999. Lagi lagi, SAT belum menjabat sebagai Ketua BPPN.
Di sinilah akar permasalahannya; setelah Sjamsul Nursalim mendapatkan R&D dan Akta Notaris No. 48 pada tanggal 25 Mei 1999, Pemerintah cq BPPN melakukan lagi klaim kekurangan Rp4,8 triliun karena dianggap Hutang Petambak dalam keadaan macet. Klaim tersebut dilakukan hanya selang 6 (enam) bulan sejak SKL (R&D dan Akta Notaris No. 48) itu diberikan (note: Ketua BPPN-nya saat itu bukan SAT), yaitu tanggal 1 November 1999. Tentunya klaim misrepresentasi sepihak oleh BPPN, ditolak mentah2 oleh Sjamsul Nursalim, karena Sjamsul Nursalim merasa sudah mendapat SKL (sudah closing).
Ribut-ribut tentang Klaim Misrepresentasi Rp4,8 Triliun terus berlanjut sampai tahun 2002, seiring dengan bergantinya Menko, Menkeu dan Ketua BPPN. Sampai akhirnya, Pemerintah memutuskan untuk melakukan kaji ulang, melalui instrumen yang dibentuk oleh KKSK, dan setiap saat harus lapor kepada KKSK.
Sebelum SAT diangkat sebagai Ketua BPPN pada tanggal 22 April 2002, Pemerintah melalui KKSK telah memutuskan untuk melakukan kaji ulang melalui TBH, TPBH dan setelah melewati beberapa pembahasan di KKSK akhirnya KKSK menetapkan jumlah kewajiban PS yang masih harus diselesaikan oleh PS kepada BPPN. BPPN diberi kuasa untuk menyampaikan hasil keputusan KKSK kepada masing-masing PS, termasuk Sjamsul Nursalim.
Singkat cerita, Sjamsul Nursalim bersedia secara kooperatif untuk memenuhi jumlah kewajiban sesuai keputusan KKSK (karena ada pemegang saham lain yang tidak bersedia dan dinyatakaan tidak kooperatif). Akibat dari penyelesaian kewajiban PS berdasarkan Keputusan KKSK, KKSK kemudian menginstruksikan BPPN untuk memberikan kepastian hukum dalam bentuk surat pemenuhan kewajiban pemegang saham, yang kemudian oleh KPK disebut dengan istilah SKL, yang diterbitkan SAT pada tanggal 26 April 2004. Dalam kasus ini, yang menjadi aneh adalah KPK mengabaikan SKL yang diterbitkan tanggal 25 Mei 1999, tetapi menganggap hanya SKL yang diterbitkan SAT sebagai satu satunya dokumen yang membebaskan Sjamsul Nursalim akibat pemenuhan kewajiban Sjamsul Nursalim berdasarkan MSAA. Padahal, jika KPK mencermati MSAA sebagai suatu perjanjian, kewajiban penerbitan SKL adalah perintah dari apa yang disepakati BPPN dalam perjanjian MSAA, suatu perjanjian yang harus dipatuhi oleh Para Pihak, sesuai prinsip Pacta Sunt Servanda.
Kasus ini semakin rumit, karena KPK diminta untuk menyelesaikan Kasus BLBI with all cost. Sehingga KPK mencari celah menjerat SAT dengan SKL dengan mengkaitkan adanya klaim misrepresentasi akibat pernyataan dan jaminan Sjamsul Nursalim yang menyatakan Hutang Petambak, sebagai faktor pengurang kewajiban Sjamsul Nursalim, adalah lancar. Disini KPK terjebak dengan dalil misrepresentasi yang ada dalam Perjanjian MSAA. Dalil misrepresentasi adalah dalil yang ada dalam “ranah perdata”, karena lahir dari bunyi perjanjian MSAA, tetapi digunakan oleh KPK sebagai dalil pidana untuk menjerat SAT dan menyatakan ada kerugian negara akibat misrepresentasi.
Upaya menjerat SAT dengan dalil misrepresentasi kemudian dikembangkan oleh KPK dengan meminta auditor BPK I Nyoman Wara, untuk menghitung kerugian negara akibat dalil misrepresentasi yang ada dalam kesepakatan perdata (baca: MSAA). Hasil temuan BPK menyatakan bahwa Kerugian Negara terjadi karena “penjualan Utang Petambak (dengan nilai buku Rp4,8 Triliun) sebesar Rp220 miliar pada tahun 2007”. Sehingga, menurut auditor BPK I Nyoman Wara, Negara dirugikan sebesar Rp4,58 triliun (Rp4,8 trilliun – Rp200 miliar).
Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa kerugian negara yang terjadi akibat penjualanHutang Petambak ditahun 2007 dibebankan kepada SAT? padahal SAT sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua BPPN pada tanggal 30 April 2004 atau pada saat BPPN dinyatakan bubar.
Persoalannya bergulir menjadi bola salju: saat KPK menetapkan SAT jadi tersangka. Permasalahan misrepresentasi hutang petambak dijadikan argumentasi hukum dalam mendakwa SAT. Dalam membuktikan “unsur melawan hukum”, KPK menggiring dalil bahwa BPPN tidak tunduk pada ketentuan Lex Specialis yang diatur dalam Pasal 37A UU Perbankan jo. PP No. 17 tentang BPPN, tetapi “harus” tunduk pada UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang baru diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004 (“UU Perbendaharaan Negara”). Tafsir ini sangat berbahaya mengingat kewenangan lex specialis BPPN digunakan untuk menyelesaikan “kredit macet” akibat krisis. Karenanya BPPN mempunyai kewenangan melakukan penghapusan piutang dan tidak tunduk pada ketentuan yang berlaku umum, seperti UU Perbendaharaan Negara.
Tafsir harus tunduk pada UU Perbendaharaan Negara merupakan pemikiran yang “aneh bin ajaib”, apalagi kemudian diaminin ditingkat PN dan PT. Bagaimana jadinya lembaga restrukturisasi perbankan yang tugasnya menyelesaikan “aset busuk” akibat kesalahan pengawasan BI tidak mempunyai kewenangan penghapusan piutang, yang dari Bank asalnya saja sudah macet. Jika ini kemudian jadi yurisprudensi hukum, sangat berbahaya jika nanti Indonesia menghadapi krisis keuangannya (mudah-mudahan tidak akan terjadi) tidak akan ada pejabat atau orang yang mau ditunjuk untuk menyelesaikan “krisis keuangan”.
Oleh karenanya, sangat aneh istilah yang digunakan oleh KPK yang menyatakan ini adalah “Kasus BLBI”, sedangkan yang dijadikan unsur melawan hukum adalah “tindakan BPPN yang melakukan restrukturisasi Hutang Petambak” dengan melakukan penghapusan sebagian piutang. Dan kerugian negara terjadi bukan karena “penghapusan piutang” (baca: Hutang Petambak), tetapi karena penjualan Hak Tagih atas Hutang Petambak kepada pihak lain yang terjadi di tahun 2007, dengan harga hanya Rp 220 miliar! (baca: Laporan Audit BPK Tahun 2017). Tempus delicti-nya terjadi di tahun 2007, saat SAT sudah tidak menjabat lagi sebagai Ketua BPPN. Kesimpulannya: Kasus ini lebih tepat disebut “Kasus Penjualan Hak Tagih atas Utang Petambak”!
Mari kita cermati apa sih Hutang Petambak? Hutang Petambak adalah “piutang BDNI kepada Petambak” sebelum Bank BDNI diambil alih oleh BPPN di bulan Agustus 1998, yang dicatat sebagai “Aset BDNI”. Aset BDNI ini yang dihitung oleh Konsultan Keuangan BPPN saat itu sebagai faktor pengurang Kewajiban BDNI. Siapa yang menghitung aset dan kewajiban BDNI untuk menghitung “nilai kerugian Bank”? yang menghitung adalah BPPN, dengan para konsultan, dan kemudian disampaikan kepada PSP BDNI, dan akhirnya disepakati sebagai “kerugian Bank” yang harus ditanggung oleh PSP BDNI, dengan nilai Rp 28,4 Triliun. Pertanyaan selanjutnya: kenapa Bank BDNI dinyatakan sebagai Bank BBO, karena memang semua kualitas aset banknya dalam keadaan macet gara-gara krisis nilai mata uang yang terjadi di tahun 1997/1998, apalagi terhadap industri dengan orientasi ekspor. PT Dipasena Citra Darmadja (“Dipasena”) sebagai aset yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim mempunyai bidang usaha ekspor udang terbesar dari Indonesia ke mancanegara. Dengan adanya krisis, bisnisnya terganggu, termasuk para petambak yang bekerja pada Dipasena. Jika aset pada suatu Bank lancar tentunya tidak mungkin Bank-nya “bangkrut” dan diserahkan kepada BPPN. Sehingga pemikiran bahwa aset Piutang BDNI lancar pada saat krisis adalah “aneh bin ajaib”, kalo lancar tentunya Banknya tidak ditutup.
Bahwa hampir semua aset Bank yang ditutup pada saat Krisis menjadi macet. Termasuk Utang Petambak. dan seharusnya kondisi macet pada saat penetapan “nilai kerugian BDNI” oleh BPPN di bulan September 1998 sudah diketahui juga oleh BPPN. Dan kondisi mengenai Hutang Petambak yang dijamin dengan “avalis” oleh Dipasena sudah diungkapkan juga dalam MSAA (sebagai kesepakatan perdata). Dan BPPN saat itu (tahun 1998) juga sudah menerima aset Dipasena (yang merupakan avalis terhadap Hutang Petambak) sebagai aset pembayar dari Sjamsul Nursalim dengan nilai Rp19,9 triliun. Kondisi ini, telah disepakati dalam Perjanjian MSAA dan jadi mengikat Pemerintah, berdasarkan prinsip Pacta Sunt Servanda. Suatu prinsip perjanjian yang selalu diajarkan dalam dunia hukum pada saat kita belajar hukum dulu.
Mengenai argumentasi para pengamat bahwa dalil mengenai apakah kasus ini ranah “Perdata” atau “Pidana”, sudah ditolak oleh Hakim pada Sidang Pra Peradilan ataupun di tingkat PN, menurut saya keliru. mengingat Hakim Pra Peradilan hanya menyatakan, bantahan SAT bahwa kasus ini masuk wilayah “Perdata” dianggap masuk pokok perkara sehingga harus diuji dalam pokok perkara. Dan putusan sela Majelis Hakim PN mengenai eksepsi SAT juga menyatakan hal yang sama, bahwa harus diuji dalam pokok perkara. Namun, sayangnya dalam Putusan Pokok Perkara di tingkat PN pada tanggal 24 September 2018 tidak ada sama sekali pembahasan atau argumentasi hukum mengenai apakah kasus ini masuk “ranah perdata” atau “ranah pidana”. Hal ini-lah yang kemudian diluruskan oleh Mahkamah Agung.
Jadi jika ada statement “aneh bin ajaib”, kacamatanya harus adil dan fair seperti teori keadilan, Justice as Fairness, John Rawls. SAT berhak mendapatkan Keadilan secara Fair, harus mendapatkan kesempatan membela diri. Jangan, kemudian orang-orang menggiring bahwa dengan ada putusan yang membebaskan SAT dalam tingkat Kasasi (onslag) seolah-olah ada yang salah dengan Majelis Hakim Kasasi? orang harus menempatkan fairness dan melihat permasalahan ini secara jernih. Kenapa orang-orang tidak berpendapat sebaliknya? harusnya Majelis Hakim tingkat PN dan tingkat PT diperiksa juga dong, apakah Majelis Hakim tingkat PN dan PT yang menjebloskan SAT ke jeruji penjara telah menerapkan teori Justice as Fairness? Keadilan itu harus memberikan hak sama kepada siapapun, dan perlakuan yang sama. Sangat tidak adil seolah-olah ada yang salah dalam putusan Kasasi, tetapi tidak mempersoalkan: apakah mungkin juga ada yang salah ditingkat PN, PT atau bahkan ditingkat penyelidikan?
Dalam kasus SAT, saat pembuktian, tidak terbukti bahwa SAT menerima gratifikasi, sehingga murni penuntutan yang diajukan KPK hanya melakukan kriminalisasi atas kebijakan pemerintah atau tepatnya “kebijakan publik” yang diambil Pemerintah pada saat krisis kekuangan tahun 1997/1998. Majelis hakim mengabaikan fakta hukum bahwa BPPN telah mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan sehingga Indonesia bisa bangkit dari krisis.
Sebagai penutup: pemberian SKL dilakukan melalui rangkaian kebijakan pemerintah saat itu, mulai dari Tap MPR, UU Propenas, Keputusan KKSK dan sidang kabinet. Juga pemberian SKL merupakan bagian dari pelaksanaan Inpres No. 8 Tahun 2002. Sehingga tidak mungkin ada penerbitan SKL jika tidak ada rangkaian kebijakan tersebut, termasuk Inpres No. 8 Tahun 2002.
Terlebih lagi, tindakan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim dan lainnya telah diaudit oleh lembaga BPK pada tahun 2006 dan tidak ada kerugian negara. Sehingga aneh tiba-tiba muncul laporan audit dari lembaga yang sama, BPK, di tahun 2017 yang menyatakan ada kerugian akibat penjualan piutang atas Hutang Petambak. Auditor yang membuat laporan audit khusus BPK 2017 secara terang benderang menyatakan bahwa ia hanya mengandalkan dokumen yang diberikan Penyidik KPK, sehingga banyak fakta atau dokumen yang dulu diperiksa oleh auditor pada tahun 2006 tidak dijadikan pertimbangan oleh auditor pemeriksa pada tahun 2017.
Sebagai kesimpulan tidak boleh ada kriminalisasi kebijakan negara. Negara saat krisis keuangan tahun 1997/1998 dalam keadaan genting dan nyaris bangkrut. Negara harus hadir menyelamatkan perekonomian nasional agar kembali on track.
BPPN dibentuk karena negara memerlukan suatu lembaga yang kuat dengan kewenangan yang Lex Specialis berdasarkan Pasal 37A UU Perbankan Jo. PP No. 17 Tentang BPPN dan harus mengesampingkan “ketentuan dan kewenangan umum” yang berlaku saat itu. Bagaimana bisa BPPN sebagai lembaga yang ditugaskan melakukan restrukturisasi hutang, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan restrukturisasi hutang, yang jelas-jelas semua aset piutang yang berasal dari Bank Asal yang diserahkan oleh BI ke BPPN adalah “Barang Bermasalah” alias “Kredit Macet”?
Putusan MA yang meluruskan putusan tingkat PN dan PT harus diapresiasi, bukan di-bully, karena Majelis Hakim Kasasi berani untuk mendudukan bahwa persoalan BPPN adalah persoalan yang terjadi pada saat krisis, sehingga tafsir kewenangan BPPN adalah bersifat lex specialis adalah sudah tepat. Semua pihak harus menyadari, kejadian krisis keuangan adalah “bencana nasional”, sehingga seharusnya kewenangan lex specialis dari BPPN tidak perlu dibenturkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal, seperti UU Perbendaharaan Negara.
Jika tafsir lex specialis saat krisis diabaikan, sangat berbahaya jika kemudian kedepan ada peristiwa krisis lagi yang menghantam ekonomi Indonesia (berharap tidak terjadi lagi), maka tidak ada lagi pejabat yang mau menduduki jabatan pada lembaga yang akan ditugaskan untuk menangani krisis, seperti kewenangan yang ada saat ini berdasarkan UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).
Laporan BPK tahun 2017, dengan auditor I Nyoman Wara, menyimpulkan kerugian negara akibat penjualan Hutang Petambak (Nilai buku sebesar Rp4,8 triliun) dengan harga hanya Rp220 miliar terjadi pada tahun 2007, sehingga negara dirugikan Rp4,58 triliun. Jadi kasus kerugian negara dalam hal ini bukan Kasus BLBI, tapi Kasus Kerugian Penjualan Hutang Petambak (di mana SAT sudah Pensiun sejak BPPN dibubarkan pada tanggal 30 April 2004). Namun terhadap hal ini juga, saya yakin, penjualan Hutang Petambak pada tahun 2007 pasti sudah memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. (*)
Penulis adalah pengamat Kasus BLBI dan Dosen Fakultas Hukum pada Universitas di Jakarta
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (6/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang… Read More
Suasana saat konferensi pers saat peluncuran Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera di Jakarta. Presiden Direktur… Read More
Jakarta - PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) resmi menandatangani nota… Read More
Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More