Catatan Infobank Akhir Tahun 2025: Menyoal Pasal “Hantu” Kriminalisasi Kredit Macet

Catatan Infobank Akhir Tahun 2025: Menyoal Pasal “Hantu” Kriminalisasi Kredit Macet

Oleh Tim Infobank Media Group

HUJAN kredit macet masih membanjiri perbankan. Sejalan dengan itu, badai tuduhan korupsi kredit macet terus terjadi. Bank-bank Himbara dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) mulai ngeri-ngeri sedap. Hanya tinggal giliran, karena menjadi target yang paling mudah dalam pemberantasan korupsi. Tidak ada di dunia bank tanpa kredit macet.

Dan, jika semua kredit macet diperiksa pasti ketemu salahnya. Lha, bankir memberikan kredit ketika usaha lancar, pihak aparat penegak hukum (APH) menilainya kredit sudah macet. Bak “Joko Sembung Naik Ojek – Ngak Yambung Jack”.

“Perburuan” terhadap bankir yang kreditnya macet merupakan pengingkaran atas program Pemerintahan Presiden Prabowo dalam mendorong pertumbuhan berkualitas 8 persen lewat peran kredit perbankan. Tapi, kini bak “dibajak” karena terjadi kriminalisasi kredit macet. Penetapan tersangka dalam pemberian kredit yang dulu lancar, kini macet — yang berubah menjadi pidana adalah “hantu” yang menakutkan. Dan sekaligus menghancurkan karier profesional.

Pasal menguntungkan pihak lain itulah yang paling mengerikan, meski tidak melakukan korupsi, seperti kasus Tom Lembong, Ira Puspadewi (ASDP) dan Milawarma (mantan Dirut Bukit Asam) yang dibebaskan. Kini giliran para bankir BPD dalam kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) masuk lorong menguntungkan pihak lain. Karier profesionalnya dihancurkan dengan tuduhan merugikan negara dengan jalur menguntungkan pihak lain.

Pertanyaannya? Bagaimana mereka yang sudah menghancurkan karier profesional dengan pasal-pasal kriminalisasi? Selama ini masih seperti tak pernah punya dosa. Santai. Tenang dan tak merasa bersalah. Tak ada pinalti, dan tak ada hukuman. Bahkan, banyak yang naik pangkat di tempat-tempat lebih terhormat, karena target kasusnya besar-besar dinilai “berhasil”.

Baca juga: Pengacara Babay Parid Wazdi Tegaskan Dakwaan JPU Kabur dan Salah Orang

Kini sejumlah bankir antre untuk dikriminalisasi tentang kredit macet. Kasus Sritex ini juga sedang dikembangkan ke PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Negara Indonesia (BNI), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sedang “dicari-cari” pasal menguntungkan pihak lain atawa debitur. Padahal juga kasusnya berbeda, dan tak ada hubungan dengan kasus yang menimpa direksi BPD DKI (Bank Jakarta), Bank BJB dan Bank Jateng.

Kriminalisasi kredit macet ini juga pernah terjadi pada Eko Budiwijono, mantan Direktur Utama, Bank DKI. Pada putusan di Pengadilan Negeri (PN), divonis 4,5 tahun. Naik ke Pengadilan Tinggi kena tambahan menjadi 7 tahun. Lalu, ke Mahkamah Agung makin diberatkan menjadi 10 tahun. Ketika Peninjauan Kembali (PK) pun ditolak.

Singkat cerita, Likotama Harum mengalami tunggakan macet sebesar Rp269,734 miliar, dan angka itu dianggap kerugian negara. Padahal, dari nilai agunan seperti diungkap dalam pembelaan mencapai Rp452,76 miliar. Atau, lebih besar dari kredit macet itu sendiri. Pun, kredit macet itu juga sudah dicadangkan oleh Bank DKI.

Dan, kredit sudah ada sebelum Eko Budiwiyono menjadi dirut. Bahkan, Eko tak kenal debitur dan tak pernah ketemu serta tak ada mens rea. Lebih seru lagi, Supendi sang debitur atas nama PT Likotama Harum tidak pernah dihadirkan dalam siding-sidang Eko Budiwiyono. Karier 35 tahun Eko dihancurkan. Ini pelajaran penting bagi semua bankir. Tidak korupsi, tidak ada aliran dana, tidak kenal debitur, jaminan lebih besar dan sudah dicadangkan. Tetap kena pasal merugikan negara. Prihatin.

Hari-hari ini, semakin banyak kasus kredit macet di bank-bank pemerintah dan daerah yang berujung pada jeratan pasal korupsi bagi debitur dan pejabat bank. Pola penegakan hukum ini, yang kerap mengabaikan dinamika usaha dan business judgement, berpotensi melumpuhkan peran strategis bank pemerintah dan daerah dalam menopang perekonomian. “Teror” penegak hukum ini makin membuat kredit seret sehingga ekonomi jalan di tempat. Soal perdata berubah menjadi pidana.

Meski, Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga sebanyak lima kali. Tapi, pertumbuhan kredit tetap seret. Menurut data Biro Riset Infobank, pertumbuhan kredit per Oktober (yoy) sebesar 7,27 persen. Padahal, tahun sebelumnya bisa di atas 10 persen. Sementara angka non performing loan (NPL) tendensi naik menjadi 2,25 persen (gross) dari 2,20 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Bankir Menilai Usaha Lancar, APH Menilai Kredit Sudah Macet

Menurut diskusi terbatas Infobank Institute, setidaknya ada empat hal yang perlu digarisbawahi tentang “membabi-buta” APH menempelkan pasal kredit macet menjadi pasal korupsi. Padahal, tak terbukti korupsi dan tak ada mens rea dalam pemberian kredit.

Satu, jelas ini fenomena yang mengkhawatirkan. Maraknya kasus kredit macet di bank BUMN, BPD, atau lembaga pembiayaan yang langsung disangkakan sebagai tindak pidana korupsi dengan dasar “memberi manfaat kepada orang lain”. Padahal, esensi pemberian kredit adalah untuk mengembangkan usaha debitur, yang secara otomatis “memperkaya” mereka. Logika ini, jika diterapkan mentah-mentah, menjadikan setiap kredit bermasalah sebagai calon kasus pidana.

Dua, membedakan niat jahat dan risiko bisnis. Dunia perbankan dibangun di atas risiko. Selama pemberian kredit bebas dari unsur kesengajaan (mens rea), konflik kepentingan, dan telah memenuhi SOP, maka yang tersisa adalah wilayah business judgement rule. Tidak ada mens rea, karena tidak  menghendaki kredit macet, tidak mengetahui akan macet dan tidak menyadari risiko kemacetan. Seringkali, APH memakai unsur mens rea dengan “kaca mata” malaikat untuk menilai niat kesengajaan.

Bankir memberi pinjaman berdasarkan analisis prospek usaha di saat itu. Faktor kualitatif seperti gejolak ekonomi, perubahan regulasi mendadak, atau pandemi, berada di luar kuasa manusia. Tidak ada bankir yang tahu masa depan. Jika sejak awal diketahui akan macet, pasti kredit tidak akan direalisasikan. Risiko kredit selalu mengikuti dan pasti sudah dikalkulasi.

Tiga, ketidakseimbangan perspektif antara bankir dengan APH. Jujur, terdapat jurang pemahaman yang dalam. Seorang bankir menilai dan memutuskan kredit saat usaha sedang baik-baik saja, atau memiliki prospek cerah. Sementara APH datang menyelidiki ketika kredit sudah dalam kondisi macet. Apa yang di mata bankir adalah risiko bisnis yang materialisasi, di mata APH sering dicurigai sebagai kelalaian yang disengaja.

Kesalahan prosedur administratif, yang semestinya berimplikasi pada sanksi administratif, sering di-“pidana”-kan. Apalagi, yang namanya jika kredit sudah macet semua bisa salah, bahkan warna pulpen hitam pun bisa salah jika di SOP harus dengan warna biru.  Pendek kata, ketika kredit lancar, diam. Begitu kredit macet—entah karena pandemi, gejolak global, atau salah urus debitur—maka mekanisme pidana langsung bergerak dengan tuduhan korupsi, dengan dasar “bank memberikan keuntungan kepada orang lain.”

Berharap OJK Jadi Juru Penengah

Padahal, mengelola bank BUMN dan BPD ibarat tim sepakbola. Kadang kemasukan gol dan kadang memasukan gol. Jika kredit macet dianggap sebuah kesalahan dan merugikan negara, lalu bagaimana jika mencetak untung dari pemberian kredit. Padahal, tidak ada kredit tanpa kolektibilitas, selalu saja ada, seperti sebuah klub bola yang terkadang kemasukan bola. Jika sebuah klub bola tidak boleh kemasukan gol, ya tidak usah punya klub bola. Jika bank tidak boleh kreditnya macet ya tidak usah memberikan kredit atau sekalian tidak usah punya bank.

Di sinilah seharusnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai regulator, tampil untuk memberikan penilaian teknis yang objektif. Harusnya OJK hadir  meluruskan persepsi yang simpang-siur. Sayangnya, keberanian untuk berdiri di tengah dan memberikan penjelasan otoritatif seringkali tidak terlihat. Para bankir menyayangkan sikap OJK yang diam saja tidak memberikan klarifikasi ke pihak APH, meski sebenarnnya OJK juga tahu bahwa baik-baik saja ketika sedang dikucurkan.

Empat, ironi kredit lancar yang berubah drastic. Pertanyaannya? Bagaimana rasionalitas hukum ketika sebuah kredit yang telah berjalan lancar puluhan tahun, tiba-tiba mengalami kemacetan akibat force majeure seperti pandemi? Debitur yang sebelumnya dianggap mitra baik, dalam sekejap berubah status menjadi tersangka korupsi. Ini mengabaikan fakta bahwa kegagalan usaha bisa terjadi karena faktor eksternal yang tidak terduga dan tidak terkendali.

Tulisan ini tidak bermaksud membela tindakan benar-benar melanggar hukum. Jika dalam proses pemberian kredit terbukti ada suap, kickback, atau benefit pribadi dari debitur kepada pejabat bank, maka itu adalah indikasi kuat korupsi dan harus ditindak tegas.

Langkah “Wiro Sableng” yang dilakukan oleh APH dalam memperlakukan kredit macet dengan pasal korupsi dan menguntungkan pihak lain berimplikasi buruk. Sangat buruk bagi lingkungan kredit perbankan yang sekarang menderita “prostat”. Pertumbuhan kredit makin seret, dan bankirnya terkena “trauma” pasal merugikan negara.

“Hantu” Menguntungkan Pihak Lain

Menurut diskusi terbatas Infobank Institute, kondisi penegakan hukum seperti ini mengancam peran bank pemerintah sebagai agent of development. Ketakutan akan dipidana membuat bank menjadi terlalu risk-averse (sangat menghindari risiko) dan super selektif.

Imbasnya, penyusutan peran. Bank pemerintah dan BPD akan cenderung fokus hanya pada segmen yang “aman”, kredit konsumsi, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Stop untuk kredit investasi dan modal kerja. Bahkan, tak tertutup kemungkinan akan “nikmat” dengan memberi Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Jika toh terpaksa, syaratnya tidak wajar. Untuk pinjaman besar, bank akan meminta jaminan yang berlebihan, bahkan mendekati cash-collateralized loan (pinjaman yang dijamin 100 persen oleh dana tunai). Jika perlu, pemberian kredit akan melibatkan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau pun kejaksaan. Semua itu untuk memitigasi risiko tuduhan pasal korupsi.

Jelas, ini menghilangkan makna intermediasi. Pengusaha besar dan sehat akan lebih memilih bank swasta yang dinilai lebih profesional dan “ramah” dalam melihat risiko bisnis. Bank swasta akan dengan senang hati mengibarkan banner: “Selamat datang, debitur besar dan bagus!”  Pada akhirnya, bank pemerintah justru kehilangan pasar terbaiknya.

Nah, bagi pengusaha, pesannya jelas. Jika ingin meminjam ke bank pemerintah, pastikan usaha Anda selalu untung dan mampu bayar tepat waktu. Jika ada tanda-tanda pelemahan, segeralah mencari refinancing ke bank swasta sebelum kredit Anda macet. Sebab, sekali macet, Anda bukan hanya berurusan dengan debt collector, tetapi berpotensi berhadapan dengan KPK atau Kejaksaan sebagai tersangka korupsi.

Baca juga: Bayangkan! Industri Leasing & Perbankan Tanpa Debt Collector, Babak Belur “Ditabrak” Kredit Macet Lalu Krisis

Situasi ruwet ini paradoks. Di satu sisi, negara mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemudahan berusaha. Di sisi lain, penegakan hukum yang tidak membedakan antara malpractice dan business risk justru menggerogoti fondasi dari agen pembangunan itu sendiri. Negara perlu menciptakan ekosistem yang sehat. Para bankir dapat mengambil keputusan bisnis yang berisiko (dengan pertanggungjawaban administratif yang jelas) tanpa ancaman pidana yang menggantung.

Jika ini terus berlanjut, maka ucapkanlah selamat tinggal pada mimpi bank pemerintah sebagai lokomotif pembangunan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya yang patuh, takut, dan akhirnya tak relevan. Kita telah mengubahnya dari harimau yang diharapkan menerkam ketertinggalan, menjadi kucing kesayangan yang hanya bisa menggaruk-garuk laporan keuangan.

Dan di panggung yang sepi itu, ekonomi akan semakin menyusut, tidak banyak usaha yang dibiayai, pengangguran makin membesar. Juga, daya beli yang makin merosot. Daya dorong kredit untuk pertumbuhan akan loyo. Jika kriminalisasi kredit macet tidak dihentikan oleh presiden, maka jujur kita sedang mengubur impian untuk tumbuh berkualitas.

Wahai bankir! Di tengah ketidakpastian global, dan ekonomi dalam negeri yang penuh ketakutan, ada baiknya tidak memberikan kredit. Apalagi, banyak para bankir yang sudah pensiun 10 tahun lalu, kini harus mendekam dalam penjara. Jangan ambil risiko. Jadi lazy bank saja aman.

Sebelum terlambat, Presiden Prabowo harus menghentikan kriminalisasi kredit macet ini jika ingin ekonomi tumbuh 8 persen. Tanpa kredit bank, pertumbuhan ekonomi 8 persen hanya omon-omon. Pasal merugika negara yang dilekatkan pada kredit macet sesungguhnya “membegal” rencana presiden agar ekonomi tumbuh berkualitas. Pasal menguntungkan pihak lain adalah “hantu” bagi pembangunan ekonomi.

Dan, Presiden Prabowo harus menghentikan “teror” terhadap para bankir ini. Jelas ini berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Stop! Kriminalisasi kredit macet tanpa mens rea tapi dianggap merugikan negara — karena menguntungkan pihak lain.

Hanya Tuhan yang tahu pasti — apakah kredit akan macet atau tidak. Dan, tidak ada di dunia mana pun – di mana bank tanpa kredit macet, kecuali Infobanknews.com.

Related Posts

News Update

Netizen +62