Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
PEMERINTAH perlu berpihak kepada usaha kecil yang sedang “keok” dipukul daya beli. Dan, Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dekat dengan usaha kecil, terkena dampak terdekat, perlu stimulus dan relaksasi kebijakan. Perlu pelonggaran aturan yang membuat BPR sesak nafas. Jangan beraninya hanya pada BPR, dan tumpul kepada bank umum yang dimiliki konglomerat kuat — ketika melakukan konsolidasi berupa marger.
Lebih dari 540 BPR yang memiliki modal di bawah ketentuan, yaitu sebesar Rp6 miliar. Banyak BPR yang akan turun kasta menjadi lembaga mikro — yang juga akan di awasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tahun 2024 merupakan tahun paling berat bagi BPR, selain banyak BPR yang “disembelih” ada 18 BPR. Jika menghitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdiri di tahun 2005, jumlah BPR yang dicabut “nyawanya” sebanyak 137 BPR.
Sejalan dengan itu, hari-hari ini masih ada sejumlah BPR yang modalnya cekak. Menurut data Biro Riset Infobank, masih ada 314 BPR/BPRS yang modalnya di bawah Rp6 miliar. Jumlah itu akan makin bertambah banyak jika memperhitungkan dampak penerapan Cadangan Kerugian Penuruan Nilai (CKPN).
Maknanya, CKPN adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai riil yang tercatat. Pendek kata, ada sejumlah dana yang disisihkan untuk menutup kerugian akibat penurunan nilai aset. Dan, aturan itu diterapkan tidak hanya bagi bank umum, tapi juga diterapkan kepada BPR/BPRS pada 1 Januari 2025.
Nah, jika asumsi non performing loan rata-rata 10 persen, maka setidaknya akan menurunkan modal yang lebih serius bagi BPR. Penerapan CKPN seperti bank umum merupakan “neraka” baru bagi BPR. Jumlah BPR yang akan turun modal di bawah Rp6 miliar membengkak menjadi sekitar 540 BPR.
Sementara menggunakan data hasil survei yang dilakukan oleh Perbarindo pada November 2024 terhadap BPR di Indonesia. Ada 759 BPR yang lengkap menjawab pertanyaan. Hasilnya akan terjadi penurunan modal jika CKPN diterapkan. Ada 216 BPR yang modalnya turun di bawah Rp6 miliar. Jika menggunakan seluruh data jumlah BPR yang sebanyak 1.400 BPR yang belum bermodal Rp6 miliar sebesar 398 BPR. Jadi jumlah total BPR yang di bawah Rp6 miliar ketika diterapkan CKPN akan menjadi 614 BPR.
Jadi, penerapan CKPN merupakan “neraka” bagi BPR. Menurut hasil survei Perbarindo juga menegaskan demikian. Lihat saja sebanyak 35,53 persen responden minta kebijakan CKPN ditunda. Bahkan, ada 62,44 persen menjawab yang intinya keberatan penerapan CKPN. Seperti, kebijakan penerapan CKPN ditinjau kembali, laba merosot menggerogoti modal, masih memadai menggunakan aturan lama. Juga, perhitungan CKPN yang perlu pemahaman lebih detail. Intinya, mayoritas menyebut BPR belum siap dan perlu relaksasi alias ditunda pelaksanaanya.
Lebih “pening lagi” dalam waktu yang bersamaan, BPR satu group harus melakukan konsolidasi berupa penggabungan. Juga, perlu menambah modal bagi yang modalnya masih di bawah Rp6 miliar. Nah, dengan penerapan CKPN, tentu banyak BPR yang akan turun modalnya. Sebab, dampak COVID-19 belum reda di kelas bawah. Efek COVID-19 masih “membakar” bisnis UMKM dan tentu BPR.
Catatan tahun 2024, kinerja BPR masih dihadapkan banyak hal, terutama karena terjadi tekanan terhadap NPL. Kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja. Dalam tahun 2024 terjadi deflasi lima bulan berturut-turut dan penurunan daya beli. Juga, terjadi PHK di mana BPR berada, seperti di kantong-kantong industri di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara menurut peta jalan BPR yang dicanangkan OJK ada tiga. Yaitu, penguatan permodalan, akselerasi konsolidasi, dan pengutan tata kelola. Nah, dalam penguatan permodalan ini pada akhir tahun 2024, modal BPR harus Rp6 miliar dan akhir tahun 2025 untuk BPRS.
Konsolidasi BPR satu group juga sedang berlangsung. Namun belum semua dapat dilakukan dengan mulus. Kawin sedarah ini ternyata juga menimbulkan komplikasi, karena tidak semua group dimiliki oleh satu orang atau keluarga, tapi ada yang dimiiki oleh beberapa keluarga. Merger tidaklah mudah, dan tidak ada benefit perpajakan.
Nah, jika melihat kondisi BPR, terutama tentang kondisi permodalan yang masih didominasi oleh BPR yang modalnya di bawah Rp6 miliar. Jadi ada baiknya, dilakukan relaksasi terhadap kebijakan CKPN sampai kondisi ekonomi kembali baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 5 persen yang terjadi di Indonesia tidak memberi dampak bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Tahun 2025 tentu bukan tahun yang ringan pula bagi BPR, karena ada tekanan kenaikan inflasi akibat kenaikan PPN 12 persen.
Tidak ada salahnya OJK melakukan relaksasi tentang ketentuan pemenuhan CKPN. Jika tidak, jumlah BPR/BPRS yang akan berada di bawah ketentuan modal inti minimum Rp6 miliar akan “meledak” menjadi pada kisaran 560-600 BPR/BPRS. Jumlah ini bisa lebih kecil dan bahkan juga bisa lebih besar jika menghitung BPR yang modalnya masih di bawah Rp3 miliar. Penerapan CKPN ini, dampaknya akan menurunkan modal.
Sedangkan prinsip yang dilakukan single presence policy ternyata juga tidak berlaku bagi bank BUMN. Juga, ketika bank umum harus memenuhi modal Rp3 triliun, toh ada dua bank umum yang janji merger, eh sampai dua tahun juga tidak jadi merger. Sampai sekarang. Dan, aman-aman saja, seolah tak terjadi apa-apa. Jangan sampai, ada kesan tumpul pada pemilik bank umum, dan tajam pada BPR yang kecil-kecil.
Hari-hari ini, ada baiknya, jika OJK terus mendorong, dan membina BPR untuk terus hidup dalam komunitasnya. Relaksasi aturan CKPN akan lebih bijak. Jangan ada nafsu mengurangi jumlah BPR, apalagi bisa jadi karena ketidakmampuan mengawasi. Sebab, jika BPR turun kelas menjadi lembaga keuangan mikro pun tetap akan diawasi OJK, meski beda kamar.
Pak Prabowo, dan para wakil rakyat di Komisi XI, DPR RI sekali-kali tengoklah BPR yang melibatkan usaha mikro dan kecil. Jadi, jika OJK melakukan relaksasi aturan bukanlah sebuah “dosa” atau tidak konsisten. Tapi, itulah gunanya regulator, punya rem dan gas yang harus sejalan dengan baik. Relaksasi CKPN adalah jalan tengah yang baik. Itu bisa dilakukan tanpa harus “menundukan” kepala.