Oleh Eko B Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
SEMBILAN tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi tak sesuai yang dijanjikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika kampanye tahun 2014 lalu. Janji tinggal janji. Tapi, itulah namanya kampanye, dan masyarakat pun lupa dan senang. Pemerintahan Jokowi tinggal sembilan bulan lagi. Pertumbuhan ekonomi 7% yang ditargetkan sulit terjadi.
Namun demikian, masyarakat lupa janji pertumbuhan 7% dan tetap senang dengan pembangunan jalan tol, bendungan, serta bagi-bagi beras bantuan sosial (bansos), Kartu Pintar, Kartu Prakerja, Kartu Sehat, dan kartu-kartu yang lain dengan mencetak utang pemerintah. Kredit perbankan mulai mengecil perannya dalam menggerakkan ekonomi. Kendati begitu, jangan sampai presiden yang baru nanti memaksa bank-bank untuk “serampangan” mengucurkan kredit.
Untuk itu, meski kredit dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi jangan ada lagi program bagi-bagi kredit, dan jangan ada presiden yang memaksa bank-bank untuk mengucurkan kredit, karena bankir itu tahu betul mana kredit yang menghasilkan net interest margin (NIM) tebal dan tipis. Bankir tidak perlu disuruh-suruh mengucurkan kredit, karena hidup-matinya bank ya dari kredit. Alangkah tidak masuk akalnya jika ada bisnis bagus, bank tidak membiayai. Namun, sering terjadi ada pemaksaan pemberian kredit program yang menurut catatan Infobank selalu menjadi malapetaka bagi bank.
Tahun 2024 ini, Infobank mencatat, di usia 45 tahun ini (11 Januari 1979), sumber pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas – karena ditopang oleh belanja negara yang digerakkan oleh penciptaan utang pemerintah. Utang pemerintah mulai masif sejak 2015. Keberanian mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) di tahun awal pemerintah Jokowi merupakan langkah berani dan baik.
Baca juga: Bahlil Pede Pertumbuhan Ekonomi RI Akan Masuk ke Top 10 Dunia
Selain itu, sejak krisis 1998, Infobank juga menggarisbawahi, tetap terjadi ketimpangan di sektor keuangan, seperti di bidang kredit, jumlah simpanan didominasi duit-duit orang superkaya. Juga, struktur bank, ada bank yang sangat besar dan ada bank yang kecil. Bank-bank besar makin besar dan bank-bank kecil makin kecil. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Simak data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dominasi simpanan di atas Rp2 miliar makin besar dan simpanan kelas receh makin mengecil porsinya. Juga, kredit perbankan masih didominasi kredit konglomerat. Penghasilan kaya-miskin juga relatif masih lebar gapnya. Ketimpangan keuangan ini juga terjadi pada kepemilikan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh utang pemerintah dan ketimpangan bidang keuangan ini menjadi catatan penting Infobank di usia 45 tahun. Hujan badai krisis seperti apa pun pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kisaran 5% plus minus. Bahkan, Infobank pernah menerbitkan tulisan “Indonesia ‘Disayang’ Tuhan”, karena badai apa pun ekonomi masih bisa tumbuh dengan kisaran 4%-5% – karena berkah sumber daya alam, seperti mineral dan komoditas serta kekuatan belanja APBN.
Sebelum 2015, kredit perbankan masih mendorong perekonomian. Pertumbuhan kredit mulai melambat sejak 2015 dan perannya digantikan oleh APBN. Pertumbuhan kredit 2014 masih sebesar 11,4%, dan di 2015 kredit merosot menjadi 10,1%.
Sementara, pada 2017 kredit tumbuh 8,24% dan 12,8% di 2018. Selama COVID-19, kredit landai, bahkan pada 2020 kredit terkontraksi minus 2,4% dan di 2021 kredit tumbuh 4,82%. Akhir 2022 kredit tumbuh 11,35%. Pertumbuhan kredit di 2023 (September 2023) sebesar 8,96%. Tahun 2023 kredit diperkirakan tidak akan tumbuh double digit. Ekonomi lesu, daya beli turun.
Pengalaman Indonesia, sebelum krisis 1998 dan awal-awal pemulihan ekonomi kredit bisa tumbuh lebih tinggi, dan “galian” utang pemerintah tidak agresif. Bisa jadi ini karena sektor-sektor yang dibiayai tumbuh dengan baik di mana manufaktur dan industri olahan meningkat. Pendek kata, hari-hari ini kredit tidak tumbuh sesuai dengan keinginan penguasa hingga di atas double digit di atas 15%.
Baca juga: Soal Pertumbuhan Ekonomi, Sri Mulyani: Jangan Sampai APBN jadi Sumber Masalah
Padahal, makin tinggi pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh perbankan, maka akan memacu pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini kredit yang disalurkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, jangan sampai ikut mendorong pertumbuhan kredit dengan memaksa para bankir kencing kredit sembarangan, karena uang bank itu uang masyarakat. Bukan uang “nenek moyong” atau warisan Nabi Soelaiman yang superkaya di zaman dulu.
Bisa jadi bank tidak bernafsu mengucurkan kredit karena ekonomi yang tidak mendukung. Namun, nafsu menerbitkan surat utang makin menggila untuk biaya pembangunan dengan pembangunan infrastruktur jalan tol, bendungan, beli alutsista, dan bagi-bagi bansos. Itulah sejatinya yang menggerakkan ekonomi. Utang dan utang yang lebih banyak lebih berperan dibandingkan dengan investasi dari kredit perbankan.
Simak saja, sejak 2014 posisi utang pemerintah terus mendaki. Tahun 2014 posisi utang pemerintah Rp2.608 triliun. Lalu, naik selama sembilan tahun terakhir ini. Lihat saja, posisi utang pemerintah berdasarkan data dokumen APBN kita edisi Desember 2023, posisi utang pemerintah sebesar Rp8.041 triliun.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, posisi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah. Tercatat posisi utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,11 %. Relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga misalnya Malaysia dan Singapura. Meski demikian, jika dibandingkan dengan rasio utang per PDB tahun 2014 mengalami lonjakan. Posisi utang per PDB tahun 2014 sebesar 24,7%. Pemerintah sering menegaskan rasio utang per PDB ini aman karena masih rendah.
Namun, di balik itu – sejatinya pemerintah akan terus “haus” utang untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Daya dorong ekonomi selama sembilan tahun ini jujur bersumber dari utang pemerintah. Sebab, sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor tergantung cuaca komoditas tidak berkelanjutan, dan investasi yang diharapkan lebih besar tidak terjadi karena “plin-plannya” kebijakan dan banyak “hantu” biaya tinggi di lapangan.
Program bagi-bagi bansos sejatinya itu baik, namun harusnya untuk sementara dan bukan menjadi “candu” karena sejatinya penciptaan utang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Seperti, dapat membuka lapangan pekerjaan, sehingga akan mempunyai daya dorong untuk pemerataan dan kesejahteraan masyarakat.
Sungguh mengerikan sekali, jika bunga utang jauh lebih besar daripada biaya kesehatan. Itu terjadi di Indonesia yang menghabiskan biaya pemilu sebesar Rp71,3 triliun. Tahun 2023 biaya kesehatan Rp172,5 triliun. Lebih kecil dibandingkan dengan biaya pembayaran bunga utang yang dibayar Rp437,4 triliun. Tahun 2024 ini biaya kesehatan direncanakan Rp187,5 triliun dan biaya bunga utang 2024 sebesar Rp437,4%.
Baca juga: Kadin Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi RI 2024 Capai 5,5 Persen
Semoga presiden mendatang tidak hanya menghambur-hamburkan uang pajak untuk memupuk kekuasaan, menekan bank untuk mengucurkan kredit program. Jangan ada lagi jumlah bunga utang lebih besar daripada biaya kesahatan, dan tentunya dapat memberi kepastian investasi, menciptakan lapangan kerja, sehingga terjadi pemerataan dan daya dorong kredit untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Tidak sekadar bagi-bagi bansos, tapi mampu merangsang penciptaan lapangan kerja. Nafsu mencetak uang baru hanya untuk proyek-proyek ambisius membuat fiskal kita menjadi tidak sehat meski rasio utang per PDB masih dianggap rendah. Tapi, jika terus berutang yang hanya mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang rendah kualitasnya dalam jangka panjang akan menyengsarakan. Apalagi, meski utang terus bertambah ternyata itu tak mampu mencapai pertumbuhan 7% sesuai janji dalam dua kali pemilihan presiden 2014-2019.
Kita berharap postur APBN itu mendapat perhatian khusus presiden mendatang. Alangkah tragisnya biaya kesehatan lebih rendah daripada bunga utang. Jangan sampai “Indonesia Emas Tahun 2045” menjadi “Indonesia Lemas” karena masyarakatnya “gering”. Dan, lebih penting dari itu mulailah mengerem utang untuk proyek-proyek ambisius dan terus berinvestasi kepada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Empat puluh lima tahun Infobank didedikasikan untuk kemajuan industri perbankan, keuangan, dan dunia usaha serta investor. Sahabat Bankir dan Profesional Keuangan, Teman Pengusaha, dan Investor. (*)