Oleh Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan RI Kabinet Indonesia Bersatu II, periode 2011-2014
Jakarta – Tokoh senior dan penulis, yang tulisannya dibaca jutaan orang, Dahlan Iskan, lewat kolom Disway (25/4/2022), mengangkat soal minyak goreng (migor) dengan pertanyaan: Kok, Malaysia bisa? Padahal, masalah sama.
Untuk menjawabnya, mari kita tengok Malaysia. Tentu dalam perbandingannya dengan Indonesia.
Malaysia adalah negara produsen minyak sawit kedua terbesar setelah Indonesia. Dua negara ini secara bersama menguasai sekitar 85% pangsa pasar minyak sawit.
Penduduk Malaysia sekitar 33 juta, dengan pendapatan per kapita sekitar US$10.000 dan GDP total sekitar US$315 miliar. Indonesia berpenduduk hampir 280 juta, pendapatan per kapita sekitar US$4.000 dan GDP total lebih dari US$1.000 miliar.
Di Malaysia, penjualan migor ada yang dalam bentuk migor bersubsidi dan ada yang tidak. Pada 2022 ini kabarnya Malaysia telah menyiapkan RM400 juta (sekitar Rp1,2 triliun) untuk subsidi migor. Jumlah itu hampir 60% dari total RM680 juta (sekitar Rp2,2 triliun) subsidi makanan.
Migor bersubsidi dijual RM2,5/kg atau sekitar Rp8.500/kg. Malaysia lazim menggunakan kg untuk ukuran migor, sementara Indonesia lebih senang pakai ukuran liter.
Migor ini adalah migor murni dari kelapa sawit, artinya tidak ada tambahan vitamin, atau campuran minyak nabati lain. Kemasannya menggunakan merek tertentu dan hanya berukuran 1 kg itu.
Di Malaysia, seperti juga di banyak negara lain, sudah tidak ada migor curah dijual ke rumah tangga.
Setiap bulan disediakan sekitar 60 juta kg migor bersubsidi, atau sekitar 720 juta kg migor bersubsidi setiap tahun. Jumlah ini sekitar 21% dari total pembelian migor masyarakat Malaysia yang mencapai 3,4 juta ton per tahun. Dan, tampaknya tidak ada pembatasan siapa yang dapat membeli migor bersubsidi.
Untuk migor yang tidak bersubsidi diterapkan semacam “harga eceran tertinggi (HET)”, yang mendekati harga pasar, yaitu sekitar RM6,7/kemasan 1 kg dan RM29,7/kemasan 5 kg. Artinya lebih dari 2,5 kali lipat harga migor bersubsidi.
Jika di Indonesia diterapkan skema yang sama, maka diperkirakan akan membutuhkan dukungan subsidi sekitar Rp6,5 triliun per tahun.
Dan tampaknya, bukan masalah besaran subsidi yang perlu menjadi perhatian utama; melainkan waktu dan proses sehingga skema itu dapat terlaksana dengan baik. Migor bersubsidi di Malaysia dilaksanakan dengan panduan UU Malaysia tahun 1961 tentang kontrol kebutuhan pokok, dan UU 1985 tentang makanan. Sudah cukup lama.
Jadi, kalau ada pertanyaan, kok Malaysia bisa? Karena, skemanya sudah lama dibangun, bukan baru saja untuk merespons kenaikan harga yang sekitar enam bulan ini terjadi. Dan, juga karena mekanisme dan dukungan pendanaannya memang telah tersedia.
Apakah Indonesia juga bisa? Ya bisa. Dengan konsep yang benar, waktu yang cukup untuk menjalankan prosesnya, dan ada dukungan dananya.
Semoga gonjang-ganjing migor ini segera berlalu. (*)
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More
Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More
Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More
Denpasar--Infobank Digital kembali menggelar kegiatan literasi keuangan. Infobank Financial & Digital Literacy Road Show 2024… Read More