Jakarta – Calon Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung pada hari ini (30/11) menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi XI DPR RI. Juda nantinya akan menggantikan Deputi Gubernur BI Sugeng yang akan habis masa jabatnya pada Januari 2022 mendatang.
Di depan Komisi XI DPR RI, Juda Agung memaparkan 7 visinya terkait dengan penguatan ekosistem pembayaran digital, sejalan dengan pola perilaku masyarakat yang lebih mengutamakan transaksi secara daring ikut menumbuhkan ekosistem pembayaran daring (payment gateway). Pertama, ia akan memperkuat peran BI dalam penguatan ekosistem pembayaran digital. Titik awal digitalisasi ini harus diawali dari sistem pembayaran oleh ekosistem yang terintegrasi.
Setelah itu, membangun data hub sistem pembayaran dalam rangka peningkatan akses pembiayaan UMKM melalui credit scoring. Nantinya data ini akan disimpan dalam data hub dan bisa digunakan oleh para pelaku termasuk perbankan untuk scoring tentu dengan perizinan konsumen. Kemudian mengakselerasi digitalisasi UMKM dalam rangka meningkatkan akses pasar domestik global melalui global ecommerce.
“Nah ini untuk membuka peluang untuk UMKM memeprluas pasar lokal maupun global. Mulai dari reform pengaturan, reform pengawasan dan reform dalam perizinan. Nah di samping itu, ekosistem itu harus didukung standarisasi tadi, dukungan Central Bank Digital Currency (CDBC) sebagai pembayaran dan juga infrastruktur dan data,” ujar Juda di Gedung DPR RI, Selasa, 30 November 2021.
Visi kedua, kata Juda, dirinya akan membangun data hub sistem pembayaran, dalam rangka peningkatan akses pembiayaan UMKM melalui credit scoring.
“Data ini nantinya akan disimpan dalam data hub dan bisa digunakan para pelaku termasuk perbankan untuk buat scoring tentu ini dengan consumer consent. Ketika consumer ajukan kredit dan bank bisa ajukan track record ini. Data is public goods. Bukan seperti di China ketika Alibaba punya data yang besar sehingga dia menjadi monopoli, begitu juga di Amazon karena dia menguasai data begitu besar. Data harus dikelola otoritas dalam hal ini BI,” ucapnya.
Lalu visi ketiga, mengakselerasi digitalisasi UMKM dalam rangka meningkatkan akses pasar domestik global melalui global e-commerce. Langkah ini tentu akan membuka peluang bagi para pelaku UMKM dalam memperluas pasar lokal maupun global. “Ini yang dilakukan BI di KPw DN. Digitalisasi diperkuat pakai kanal pembayaran QRIS sekarang terus dilakukan oleh teman-teman di kantor perwakilan dalam negeri,” paparnya.
Kemudian, visi keempat, mempersiapkan penerapan CBDC atau uang rupiah digital. Menurutnya, penerbitan CBDC penting untuk menjaga kedaulatan mata uang dari sebuah negara. Kemudian, tentu saja CBDC ini diperlukan karena semakin banyak transaksi digital. Dengan CBDC ini bank sentral tetap bisa menjaga efektifitas kebijakaan moneter dan stabilitas sistem keuangan. Hal ini juga diharapkan dapat mendorong inklusi keuangan.
“Nah detil dari rupiah digital ini tentu saja masih didalami oleh BI. Ada dua opsi pendekatan direct artinya masyarakat atau baik rumah. tangga maupun korporasi bisa dapatkan token langsung dari bank sentral. Token CBDC ini. Sementara In direct itu melalui dua tahap yaitu tier 1 perbankan dan tier 2 para pengguna baik RT maupun korporasi. Kedua menurut hemat kami ini lebih tepat, ini seperti peredaran uang kertas dan uang logam saat ini. Jadi bank sentral mengedarkan melalui perbankan dan kemudian masyarakat mendapatkan uang kertas dan logam dari perbankan tersebut,” jelas Juda.
Selanjutnya, visi kelima, pengawasan Regulatory technology (RegTech) dan Supervisory Technology (SupTech) keamanan siber. Menurutnya, digitalisasi sistem pembayaran ini tentu saja membutuhkan industri sistem pembayaran Supervisory Technology. Kecepatan dengan teknologi dan data ini, Bank Indonesia sebagai pengawas sistem pembayaran bisa untuk monitoring risiko yang ada dalam industri. Dalam konteks risiko siber, manajemen pengawasan yang adaptif diperkuat untuk menghadapi ancaman siber.
“Dalam hal ini, BI sekarang sedang persiapkan framefork untuk keamanan siber ini baik utk BI maupun industri sistem pembayaran,” ucapnya.
Berikutnya, lanjut dia, visi keenam yakni penguatan pengaturan digitalisasi industri keuangan dalam RUU P2SK dan penguatan koordinasi antar lembaga. Penguatan aturan ini tak lain untuk mencari keseimbangan digitalisasi ekonomi dan keuangan dan risiko yang ditimbulkan dari adanya digitalisasi keuangan ini. Ekonomi keuangan digital yang diselenggarakan fintech ini, kata Juda, harus diatur ke dalam kerangka inovasi dengan tetap memperhatikan mitigasi risiko.
“Mengenai data ini penting jadi kunci integrasi ekonomi dan keuangan digital. Isu yang diatur adalah otoritas yang miliki atau memelihara data hub dari transaksi pembayaran digital. Perlindungan konsumen dan data pribadi. Penerbitan CBDC itu sendiri. Karena dalam UU mata uang definisi itu adalah uang kertas dan logam belum ada uang digital ini perlu landasan hukum yang bisa dimasukan ke RUU P2SK,” tuturnya.
Visi ketujuh, yakni mengakselerasi inovasi melalui pendirian departemen pengembangan inovasi digital sebagai innovation hub. Dalam menghadapi future of payment system, serta mempertimbangkan potensi penggunaan CBDC hingga mengantisipasi evolusi teknologi dalam lanskap ke depan di perlukan wadah think tank untuk mengawal ekonomi keuangan digital.
Ia mengungkapkan, ada banyak tantangan seperti kecepatan adopsi teknologi baru, cross border payment, CBDC, big tech, digitalisasi dan desentralisasi pasar keuangan, cyber risk, data intelligence & Internet of Thing dan transformasi digital. “Kami memandang akselerasi inovasi digital di BI perlu dibuatkan departemen khusus baik digitalisasi Industri maupun bank sentralnya. Bahwa pandemi Covid+19 mengharuskan kita berubah utk bentuk kehidupan ekonomi dan sosial baru,” tutupnya. (*)