Sejumlah perusahaan BUMN sedang mengalami persoalan serius. Sebagian lainnya buntung bertahun-tahun. Untuk perusahaan-perusahaan BUMN seperti itu, Kementerian BUMN menyiapkan sejumlah solusi, mulai dari penyehatan hingga likuidasi.
Nama PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN) mencuat kala Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan, melakukan rapat kerja dengan Komisi VI dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), beberapa waktu lalu. Keduanya dibuat bingung oleh perusahaan berstatus BUMN tersebut.
Selain jarang terdengar dan tak begitu dikenal publik, PT PANN memiliki utang sebesar Rp3,76 triliun. Nilai yang cukup besar. Yang mengejutkan lagi, PT PANN juga merupakan satu dari delapan BUMN calon penerima penyertaan modal negara (PMN) 2020 dengan alokasi penyertaan nontunai Rp3,76 triliun.
“Saya juga baru dengar, pak. Saya juga belum pernah (berurusan) dengan PT ini,” kata Sri Mulyani, menjawab pertanyaan Misbakhun, Anggota Komisi XI ketika itu.
PT PANN merupakan salah satu perusahaan BUMN yang sedang mengalami persoalan keuangan. Sejumlah pemberitaan menyebutkan bahwa perusahaan pelat merah yang berdiri sejak 1974 ini mengalami ekuitas negatif Rp3,55 triliun pada akhir 2018. PT PANN yang pada awal pendiriannya bergerak di bisnis pembiayaan kapal laut, hanya beraset Rp886,98 miliar pada 2018, sedangkan total liabilitasnya Rp4,44 triliun. Karena itu, perusahaan ini membutuhkan suntikan modal.
Berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI), dilihat dari kinerjanya pada rentang 2014 hingga 2018, PT PANN konsisten mengalami kerugian selama tiga tahun berturut-turut, yakni pada 2015, 2016, dan 2017. Pada rentang waktu itu, kerugian terbesar tercatat pada 2016, yaitu sebesar Rp599,93 miliar. Pada 2018 PT PANN berhasil mencetak laba positif sebesar Rp2,34 miliar.
Selain PT PANN, saat ini ada beberapa perusahaan pelat merah yang sedang mengalami permasalahan. Sebagai contoh, yang menggemparkan dan banyak mendapat perhatian publik adalah Asuransi Jiwasraya. Selain itu, ada Krakatau Steel, Garuda Indonesia, dan Asabri.
Permasalahan Jiwasraya mulai muncul pada Oktober 2018. Ketika itu perusahaan asuransi jiwa ini mengumumkan ketidakmampuan membayar polis sejumlah nasabahnya atau gagal bayar atas produk JS Saving Plan senilai Rp802 miliar. Namun, dalam perjalanannya, polis nasabah yang tidak mampu dibayar mencapai lebih dari Rp12 triliun. Jiwasraya mengalami ekuitas negatif sekitar Rp27 triliun. Permasalahan yang menggerogoti Jiwasraya salah satunya disebabkan kesalahan investasi.
Begitupun dengan Asabri. Perusahaan asuransi sosial milik negara ini mengalami kerugian yang diperkirakan lebih dari Rp10 triliun akibat kesalahan investasi.
Sementara, Krakatau Steel sekarang ini sedang berdarah-darah. Perusahaan yang dipimpin Silmy Karim sebagai direktur utama ini mencatatkan kerugian selama delapan tahun berturut-turut atau sejak 2012 hingga 2019. Pada posisi September 2019 Krakatu Steel tercatat mengalami kerugian Rp2,97 triliun. Kesulitan yang dialami Krakatau Steel antara lain disebabkan lesunya penjualan besi dan baja akibat derasnya impor besi dan baja serta beban perusahaan yang terlalu besar.
Pada pengujung 2019 mata publik tertuju pada Garuda Indonesia. Sebab, ketika itu terkuak adanya skandal penyelundupan barang mewah berupa sepeda motor gede (moge) dan sepeda Brompton yang melibatkan Ari Askhara, Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu. Kementerian BUMN pun langsung bergerak, mengatasi persoalan tersebut. Ari Askhara dicopot dari jabatannya, bersama beberapa petinggi Garuda Indonesia lainnya yang terlibat dalam skandal itu.
Namun, permasalahan Garuda Indonesia bukan itu saja. Perusahaan penerbangan nasional ini juga punya problem keuangan. Dalam lima tahun terakhir profitabilitas Garuda Indonesia sangat labil. Naik-turun dari untung menjadi rugi, lalu kembali lagi menjadi untung. Pada September 2019, Garuda Indonesia berhasil mencetak laba positif Rp1,74 triliun. Kini di bawah manajemen baru yang dipimpin Irfan Setiaputra, BUMN satu ini mencoba untuk kembali terbang tinggi.
Di antara jajaran perusahaan-perusahaan pelat merah, selain perusahaan-perusahaan BUMN yang sudah disebutkan tadi, masih ada sebagian yang kinerjanya tidak cemerlang. Tolok ukurnya, salah satunya yang paling mudah dilihat adalah keberhasilannya mencetak laba.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, pada 2018, dari 113 perusahaan BUMN, tercatat ada 12 perusahaan BUMN yang merugi dengan total kerugian Rp19,48 triliun, terbesar sejak 2014. Dari 12 perusahaan itu, ada tiga perusahaan yang sudah lima tahun berturut-turut terus mengalami kerugian, yakni PT Krakatu Steel, PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, dan PT Iglas.
Tidak moncernya kinerja sebagian perusahaan BUMN disebabkan oleh banyak faktor. Namun, yang paling mendasar adalah salah kelola atau mismanagement dan kalah dalam kompetisi bisnis. Dua hal itu paling sering dijumpai di perusahaan-perusahaan BUMN yang kinerjanya memerah.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada 20 Februari lalu, Erick Thohir menyatakan bahwa Kementerian BUMN sedang mengelompokkan BUMN, termasuk BUMN yang sedang sekarat—dalam arti, kinerjanya secara bisnis dan keuangan terus merosot. Pihak kementerian memiliki sejumlah opsi untuk menangani perusahaan-perusahaan BUMN yang tidak perform itu, mulai dari penyehatan hingga likuidasi.
“Nanti kita putuskan apakah bisa disehatkan atau kalau memang tidak, mohon maaf, kalau harus dilikuidasi, ya memang harus dilikuidasi,” katanya. (Ari Nugroho).
Tulisan telah dipublikasikan di Majalah Infobank edisi Maret 2020