Jakarta – Perum Bulog tak mau berpolemik soal optimal tidaknya penyerapan panen jagung petani. Adanya permintaan impor jagung melalui Rapat Kordinasi Terbatas jelas menunjukkan bahwa surplus jagung memang tidak ada. Menurut Bulog, semua permasalahan terkait dengan produksi jagung secara nasional harus disandingkan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Perum Bulog, Siti Kuwati menanggapi pernyataan Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman bahwa impor jagung ditujukan untuk cadangan stok di Bulog. Dia mengungkapkan, jika memang surplus jagung ada di Tanah Air, dan harganya sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP), maka sudah pasti jagung dapat diserap oleh Bulog.
“Mentan mau bilang apa saja, bukan kewenangan kami atau saya untuk menilai apakah Mentan benar atau tidak, ngomong soal surplus. Lebih baik dikonfrontasi dengan data BPS,” ujar Siti di Jakarta, Selasa, 27 November 2018.
Faktanya, kata dia, dalam Rapat Kordinasi Terbatas tersebut, justru meminta agar Bulog impor jagung. Selain itu menurutnya, Bulog memiliki kriteria HPP yang disesuaikan dengan kualitas yang diperlukan, tidak asal serap. “Intinya, kami operator diminta untuk impor oleh regulator ya itu rakortas yang seizin dari Kementerian BUMN sebagai atasan dari Bulog,” papar dia.
Senada, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman mengungkapkan, bahwa langkah pemerintah meminjam jagung ke Japfa dan Charoen merupakan hal yang tepat. “Baguslah, ini menunjukkan bahwa panen dan surplus jagung itu cuma panen di koran (media massa) dan di medsos,” tegasnya.
Sudirman mengatakan, impor jagung 100 ribu ton juga diperkirakan tidak akan menyelesaikan masalah tingginya harga jagung. Pasalnya, kebutuhan jagung dalam negeri, untuk pakan ternak, sekitar 800 ribu ton per bulan. Di sisi lain, pinjaman jagung itu diharap tidak merugikan perusahaan swasta, dalam hal ini Charoen dan Japfa, masing-masing 5000 ton.
“Karena itu kan aset mereka, kalau harga sekarang Rp6.000 per Kilogram, lalu jagung dihargai Rp4.000 per kilogram berarti ada ‘real lost’ Rp2.000 per kilogram. Kemudian di kali pinjaman itu, misalnya benar 5000 ton, berarti totalnya Rp10 miliar. Itu bisa buat beli innova 30 biji,” ucapnya.
Akibat minimnya jagung, dan tingginya harga pakan ternak, saat ini peternak ayam petelur dan pedaging lebih banyak menggunakan gandum daripada jagung untuk bahan baku produksi. Padahal, dengan memakai jagung, pakan ternak tidak perlu ditambahkan zat adittif untuk bisa membuat kaki ayam terlihat kuning.
“Masyarakat kita kan kalau milih daging ayam ingin yang kakinya kuning. Lalu kalau telur juga maunya kuningnya lebih terang. Nah itu kalau pakai jagung udah pasti kuning. Kalau pakai gandum, ayam kakinya putih, kita harus tambah zat aditif,” tukasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menambahkan, industri pakan diharal tetap menggunakan jagung untuk pakan ternak. Soal keberadaannya, Kementan harus bertanggung jawab memastikannya. “Ini harus dipastikan bagaimana bahan pakan ternak dari jagung dan gandum untuk menghitung kebutuhan jagung baik diproduksi secara nasional,” katanya. (*)