Jakarta – Industri fintech peer to peer (P2P) lending telah terbukti membantu sektor produktif seperti UMKM dalam mendapatkan permodalan untuk operasi bisnis. Kondisi ini membantah citra fintech P2P lending atau pinjaman online (pinjol) yang seolah hanya menyalurkan kredit untuk hal konsumtif dengan suku bunga yang ‘mencekik’.
Mengutip data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pinjaman pinjol ke UMKM baik yang perseorangan maupun badan usaha tumbuh 19,18 persen secara tahunan menjadi Rp19,38 triliun di Agustus 2023, dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp16,26 triliun.
Sejumlah pelaku UMKM memberikan kesaksiannya terkait bagaimana lembaga-lembaga fintech P2P lending menopang bisnis mereka selama ini. Dari proses pengajuan pembiayaan yang mudah, hingga suku bunga pinjaman yang masih terjangkau dari para fintech, menjadi opsi bagi UMKM ini untuk memilih pengajuan kredit ke fintech.
Baca juga: OJK Beberkan Nasib 29 Fintech Lending yang Masih Kurang Modal
Yuari Trantono selaku pemilik dari PT Pangan Nusantara, UMKM yang bergerak di bisnis supply daging dan sayuran untuk restoran atau rumah makan, menyatakan bahwa keberadaan fintech sangat membantu permodalan bisnisnya. Perlunya aset fisik sebagai jaminan jika ingin mengajukan kredit ke lembaga perbankan menjadi kendala tersendiri bagi para pelaku UMKM seperti dirinya.
“Kita kan UMKM tidak punya aset ya, persyaratan ada tanah dan bangunan itu kan bikin kita sulit juga ya untuk mengajukan pinjaman ke perbankan. Malah menurut kita lembaga perbankan itu pro kepada orang-orang kaya sebenarnya, karena harus ada aset. Kami sebagai UMKM kan tidak punya aset,” ujar pria yang akrab disapa Ari ini, Senin, 30 Oktober 2023.
“Memang tidak polos-polos banget ya, kita harus dilihat laporan keuangan dua tahun terakhir seperti apa. Ada keuntungan atau tidak. Jika mendapatkan pinjaman dari fintech itu kita bisa membayar bunganya atau tidak. Jika bisa, maka kita bisa masuk. Jadi, fintech cukup selektif juga lah, khususnya kalau usahanya masih baru,” tambahnya.
Ari menjelaskan lebih lanjut bahwa usahanya yang berdiri sejak 2013 baru memakai jasa pinjaman dari fintech P2P lending setahun terakhir ini, di mana sebelumnya ia murni mengandalkan modal pribadinya. Sejak mengakses pinjaman dari fintech, usahanya mengalami peningkatan signifikan.
PT Pangan Nusantara memperoleh pembiayaan mencapai sekitar Rp 1,2 miliar dari plafon Rp 2 miliar yang disediakan oleh Alami Syariah. Hingga saat ini, PT Pangan Nusantara mampu mencatat peningkatan omset hingga 2 kali lipat menjadi 6 ton per hari dari yang sebelumnya hanya 3 ton per hari.
Dirinya menyatakan bahwa bunga pinjaman dari fintech P2P lending yang ia dapat berada di level 1,5% sampai 2% per bulan. Ia pun berharap bunga pinjaman itu bisa lebih rendah lagi dengan level maksimum berada di 1,5% per bulan.
Sementara itu, pengusaha UMKM lainnya yakni Erfianty selaku pemilik dari Ayam Bakar Madu Hijrah, menjelaskan betapa mudahnya proses pengajuan pinjaman dari fintech P2P lending. Dirinya yang memakai fintech lending OVO Finansial, mengatakan hanya membutuhkan waktu satu hari dalam mengajukan pinjaman modal usahanya.
“Alhamdulillah sih lancar ya. Prosesnya sih cepat ya. Paling lama dua hari, tapi yang pengajuan pertama itu cuman satu hari. Jadi, hari Senin saya klik (ajukan), hari Selasa sudah masuk. Mudah ya, tinggal isi data saja, dilihat dari transaksi saya di aplikasi, dari Grab Food, sudah cair,” ucapnya.
Baca juga: Cegah Kebocoran Data dari Fintech, Begini Langkah BSSN
Ia mengatakan bahwa tak perlu jaminan dalam pengajuannya. Di pengajuan pertama, ia mendapatkan limit kredit Rp6 juta, pengajuan kedua sebesar Rp30 juta, pengajuan ketiga sebesar Rp14 juta, dan pengajuan keempat adalah Rp50 juta, dengan tenor bervariasi antara tiga hingga enam bulan serta pembayaran pinjaman langsung dari potongan transaksi penjualan.
“Setelah saya meminjam dana ini, kenaikan omset mencapai sekitar 40 persen. Sebelum pinjaman itu saya omset rata-rata Rp3 juta per hari, lalu setelah pinjaman itu sekarang rata-rata Rp5 juta per hari. Jadi, dana pinjaman saya pakai untuk membeli bahan baku dan peralatan operasi usaha ya,” paparnya.
Di lain pihak, Ike Ayu Saputri selaku Partnership Acquisition Alami Syariah, menerangkan jika pengajuan pinjaman berlandaskan pada sistem credit scoring yang diolah dari bisnis usaha atau laporan keuangan.
“Kita kan syariah jadi untuk bagi hasil ada di kisaran 13% sampai 20% per tahun. Lalu, ada biaya market place fee, semua fintech pasti ada biaya itu, kalau di bank provisi. Itu range-nya di antara 2% sampai 5% per pencairan. Jadi, kalau tenornya dua bulan itu langsung kita potong per tenor itu,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja