Oleh Togi B. Girsang, Praktisi Manajemen Risiko
DALAM kasus Garuda Indonesia (GA), CT mempertanyakan laporan keuangan tahun 2018 dan menolak pencatatan pendapatan dari perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia Group dan PT Mahata Aero Teknologi.
Pertengahan 2019, merujuk sejumlah regulasi dan standar (Peraturan OJK Nomor 13/POJK.03/2017, Standar Audit (SA) 315 Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) tentang Pengidentifikasian dan Penilaian Risiko Kesalahan Penyajian Material Melalui Pemahaman atas Entitas dan Lingkungannya, SA 500 SPAP tentang Bukti Audit, SA 560 SPAP tentang Peristiwa Kemudian, dan SA 700 SPAP tentang Perumusan Suatu Opini dan Pelaporan atas Laporan Keuangan), GA dan akuntan publiknya mendapat sanksi. Belum ada kabar sanksi untuk kantor akuntan publik (KAP)-nya.
Tidak sama dengan GA, cerita Bukalapak ada kemiripan. Bukalapak berinvestasi di sejumlah perusahaan, antara lain di bank (Bank Harda) dan PT Belajar Tumbuh Berbagi. Ada lima isu utama yang menarik.
Satu, salah saji material laporan interim 30 September 2021. Dua, potensi kekeliruan akun/pos untuk mencatatkan sesuai PSAK 71. Tiga, keterbukaan informasi akibat kekeliruan yang material. Empat, kecukupan kompetensi bidang akuntansi para pihak terkait. Lima, harga saham yang naik secara fantastis.
BBHI adalah kode emiten untuk Bank Harda. Data harga saham BBHI: Rp32,46 (27/10/2020), Rp52,02 (27/11/2020), Rp88,22 (30/12/2020), Rp272,57 (28/05/2021), Rp667,89 (25/06/2021), Rp1.521,59 (20/07/2021), Rp3.594,2 (26/11/2021), Rp5.550 (28/01/2022), dan Rp6.500 (28/04/2022). Dalam periode 1,5 tahun, harga saham mengalami kenaikan lebih dari 200 kali lipat.
Pada November 2020 BBHI dibeli oleh Mega Corp (CT) senilai Rp308 miliar, di mana nilai modal inti bank saat itu adalah sebesar Rp300 miliar. Pada Juni 2021 Bank Harda berubah menjadi PT Allo Bank Indonesia, tapi masih dengan kode emiten yang sama, BBHI.
Harga saham BBHI melejit pada periode Juni-Juli 2021, dari Rp667,89 ke Rp1.521,59. Inilah cikal bakal muncul informasi pada Laporan Keuangan Interim Maret 2022, dengan penamaan “Laba nilai investasi yang belum dan sudah terealisasi”.
Dalam empat tahun terakhir, kinerja BUKA berdasarkan laporan keuangan publikasi mengalami rugi Rp2,24 triliun (2018), Rp2,79 triliun (2019), Rp1,34 triliun (2020), dan Rp1,67 triliun (2021).
Pada 4 November 2021 anak usaha BUKA, yaitu PT Kolaborasi Kreasi Investa (KKI) dan PT Bina Unggul Kencana (BUK), mengakuisisi start up bernama PT Belajar Tumbuh Berbagi (BTB) senilai US$1 miliar. Hal ini dipertegas dalam laporan keuangan interim BUKA per 30 September 2021, pada catatan atas Laporan Keuangan (CALK) No. 39 tentang Peristiwa Setelah Tanggal Pelaporan bahwa nilai pembelian 100% saham BTB yaitu US$1 miliar, (bisa disetarakan dengan Rp14 triliun).
Menariknya, HT selaku akuntan publik dari KAP PS&S yang terafiliasi dengan EY, menyatakan “Tidak ada hal-hal yang menjadi perhatian kami yang menyebabkan kami percaya bahwa laporan konsolidasian interim terlampir tidak menyajikan secara wajar, dalam hal yang material, posisi konsolidasian PT Bukalapak Tbk per 30 September 2021”.
Pada 31 Desember 2021 Bank DBS Indonesia yakin dengan kesehatan BBHI dan memberikan pinjaman sebesar Rp2 triliun. Pada 31 Mar 2022 pinjaman Rp2 triliun dari DBS Indonesia dilunasi. Setelah bertahun-tahun merugi triliunan, kuartal satu yaitu per Maret 2022, secara mengagetkan BUKA meraih laba Rp14,42 triliun.
Pada 24 Mar 2022 kutipan, “Sehubungan dengan berita di media pada 23 Maret 2022, dengan ini kami mengklarifikasi bahwa transaksi jual beli saham antara Kolaborasi Kreasi Investa (KKI) dan Bina Unggul Kencana (BUK) yang terjadi pada 4 November 2021 terkait dengan pembelian 100% saham-saham PT Belajar Tumbuh Berbagi (BTB) sebanyak 11.340 saham adalah senilai US$1 juta dan bukan senilai US$1 miliar,” kata Monica Chua, Head of Public Relation BUKA.
Akhir Maret 2022, Bursa Efek Indonesia (BEI) mempertanyakan kejadian salah saji material tersebut. Hingga 2 Mei 2022 (saat tulisan ini disusun), melalui keterbukaan informasi bursa efek Indonesia, belum ditemukan informasi terkait atau fakta material sehubungan dengan salah saji ini.
Ada kutipan, “Direksi perseroan berkeyakinan bahwa peningkatan total aset perseroan pada tanggal 31 Maret 2022 tersebut menunjukkan semakin membaiknya kinerja perseroan dalam mengelola aset yang dimiliki,” kata Natalia Firmansyah, Direktur BUKA.
Ada sesuatu yang unik bahwa dalam laporan interim 31 Maret 2022 muncul informasi pada kelompok pendapatan, bertuliskan “Laba nilai investasi yang belum dan sudah terealisasi,” senilai Rp15,48 triliun. Akun ini belum umum dan sekaligus belum cocok dikategorikan sebagai pendapatan (normal) yaitu dari kegiatan usaha BUKA yang sebenarnya. Apalagi, dari nilai Rp15,48 triliun adalah keuntungan akibat akuisisi BBHI, dan jika ditelusuri lebih mendalam, mayoritas (di atas 80%) laba nilai investasi tersebut memanglah belum terealisasi.
Sekadar menghangatkan ingatan, sejak berlakunya PSAK 71 pada 2020 (atau paralel run sejak akhir 2019), telah memuat akun (istilah) Other Comprehensive Income (OCI). OCI adalah pos tersendiri, yang paling tepat untuk mencatatkan keuntungan akibat investasi tersebut di atas. (*)