Perbankan

BSI Proyeksikan Ekonomi RI Tumbuh 5,28 Persen di 2026: “Purbaya Efek” Jadi Fondasi

Poin Penting

  • BSI memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,28 persen pada 2026, didorong konsumsi rumah tangga, program prioritas pemerintah
  • Delapan pilar utama memperkuat fondasi ekonomi 2026, mulai dari normalisasi perdagangan global, realokasi aset ke emerging markets, daya tarik rupiah, hingga “Efek Purbaya”
  • Prospek pasar keuangan dan komoditas tetap positif, The Fed diproyeksi memangkas suku bunga 50 bps, emas menjadi aset lindung nilai favorit, inflasi RI tetap dalam target (2,94 persen)

Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh double digit sebesar 5,28 persen pada tahun 2026.

Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo mengungkapkan pertumbuhan itu akan ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang menjadi kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB), program prioritas pemerintah, penguatan investasi terutama penanaman modal dalam negeri (PMDN), belanja fiskal yang ekspansif namun prudent, dan menguatnya peran ekonomi serta keuangan syariah nasional.

Selain itu, berdasarkan analisis proyeksi ekonomi yang disusun oleh Office of Chief Economist (Kantor Ekonom) BSI, terdapat delapan faktor atau pilar utama yang membuat Indonesia masuk ke 2026 dengan fondasi yang relatif kuat, di antaranya normalisasi perdagangan global, realokasi aset ke emerging markets, menguatnya daya tarik rupiah, program prioritas pemerintah, “Efek Purbaya” pada kebijakan ekonomi, daya tahan konsumsi, agenda hilirisasi, serta proyeksi indikator ekonomi utama.

“Kombinasi delapan faktor ini membuat Indonesia masuk ke 2026 dengan fondasi yang relatif kuat, meskipun lanskap global tetap penuh ketidakpastian,” ujar Banjaran, dalam acara BSI Sharia Economic Outlook 2026 bertema “Indonesia 2026: Resilient, Bold, and Promising”, Kamis, 4 Desember 2025.

Baca juga: Ekonom Bank Mandiri Proyeksi Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 5,2 persen di 2026

Sementara, tim ekonom BSI mencatat ekonomi global pada 2026 diperkirakan tumbuh sekitar 3,2 persen berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF), dengan Kawasan ASEAN diproyeksikan menjadi salah satu blok dengan prospek paling menarik, seiring pergeseran pusat pertumbuhan ke Asia.

Di sisi lain, dunia masih menghadapi lima dinamika utama, yakni risiko utang negara (sovereign debt risk), potensi asset bubble akibat valuasi pasar yang terlalu tinggi, perang dagang yang terus membayangi, pertumbuhan yang terfragmentasi, serta perubahan lanskap perdagangan akibat AI-driven productivity.

“Di tahun 2026, risiko utang dan asset bubble membuat investor lebih selektif, sementara AI perlahan mengubah struktur perdagangan dunia,” jelas Banjaran.

Kemudian mengikuti tren pelemahan inflasi global, tim ekonom BSI memproyeksikan The Fed akan menurunkan suku bunga acuan sekitar 50 bps sepanjang 2026 ke kisaran 3,25 persen sampai 3,50 persen, disertai dengan penurunan imbal hasil obligasi AS.

“Normalisasi ini membuka ruang bagi rotasi aset ke emerging markets termasuk Indonesia, di tengah kekhawatiran valuasi pasar yang terlalu mahal di negara maju,” tuturnya.

Emas Masih Jadi Favorit di 2026

Untuk komoditas, Banjaran menjelaskan bahwa emas tetap menjadi salah satu aset lindung nilai favorit. Data World Gold Council yang dihimpun tim ekonom BSI menunjukkan, bank sentral dunia kembali agresif menambah cadangan emas. Sementara, permintaan emas untuk investasi hingga kuartal III 2025 telah melampaui total tahun sebelumnya. Kondisi ini membuat harga emas global bertahan di level tertingginya.

“Permintaan emas yang kuat dari bank sentral dan investor, ditambah pelemahan relatif Dolar AS, membuat prospek bisnis emas tetap menarik pada 2026. Bagi perbankan syariah, ini membuka ruang pengembangan produk emas yang lebih terintegrasi dengan ekosistem keuangan syariah,” kata Banjaran.

Inflasi Tetap dalam Target dan BI Rate Turun Bertahap

Sementara itu, inflasi 2026 diperkirakan berada di kisaran 2,94 persen, tetap di dalam target, dengan tantangan utama berasal dari volatile food akibat kondisi iklim. BI Rate diproyeksikan turun bertahap ke 4,25 persen di akhir 2026, seiring pelonggaran global dan stabilnya angka inflasi.

“Ruang pelonggaran moneter terbuka, tetapi tidak akan agresif. Stabilitas rupiah dan pengelolaan ekspektasi inflasi tetap menjadi fokus utama otoritas,” tutur Banjaran.

Tim ekonomi BSI juga menilai stabilitas rupiah akan ditopang tiga faktor, yakni potensi rebound aliran modal asing, pengelola devisa melalui cadangan di kisaran USD150 miliar, serta optimalisasi instrumen SRBI dan pasar obligasi domestik. Yield SBN 10 tahun diproyeksikan rata-rata sekitar 6,49 persen pada 2026.

Menurut Banjaran, 2026 juga akan ditandai oleh perluasan implementasi berbagai program pemerintah, mulai dari ekosistem makan bergizi gratis, penguatan kesehatan dan pendidikan, dukungan UMKM, hingga program pangan dan energi, yang diperkirakan mendorong permintaan domestik dan investasi di banyak sektor terkait, dari pertanian sampai logistik pangan.


“Efek Purbaya” dan Hilirisasi Tahun 2026

Kemudian, tim ekonom BSI pun mengungkapkan “Efek Purbaya” telah mencerminkan kombinasi kebijakan yang lebih ekspansif namun tetap berhati-hati (prudent) di sisi fiskal dan keuangan.

Penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp276 triliun di perbankan, termasuk BSI, diharapkan memperkuat likuiditas, menurunkan cost of fund, dan mendorong pertumbuhan pembiayaan kembali ke kisaran dua digit untuk mendorong kembali kegiatan ekonomi khususnya melalui keterlibatan aktif dan kontributif sektor swasta, sehingga terjadi penciptaan lapangan kerja dan pemulihan kelas menengah.

Dari sisi produksi, Banjaran menekankan bahwa hilirisasi tetap menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan jangka menengah. Proyeksi sektoral BSI menunjukkan percepatan di industri pengolahan, perdagangan, akomodasi & makan minum, transportasi, serta jasa informasi & komunikasi, yang seluruhnya tumbuh di atas rata-rata PDB pada 2026.

Tim ekonom BSI mencatat bahwa realisasi investasi triwulan III 2025 telah mencapai Rp491,4 triliun, tumbuh 13,9 persen, dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp279,4 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) Rp212 triliun.

Ke depan, hilirisasi dan pergeseran prioritas kebijakan diperkirakan akan menjadikan PMDN sebagai motor utama investasi, sementara PMA akan lebih selektif dan berfokus pada sektor bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor.


Ekonomi Keuangan Syariah Tetap Positif

Di tengah dinamika tersebut, ekonomi dan keuangan syariah diyakini menjadi bagian integral dari dorongan pertumbuhan nasional. Meski kedalaman pasar keuangan masih terbatas, Banjaran menegaskan bahwa keuangan syariah Indonesia justru menunjukkan momentum pertumbuhan yang kuat.

Total aset keuangan syariah diperkirakan naik dari Rp3.158 triliun pada 2025 menjadi sekitar Rp3.508 triliun pada 2026, atau tumbuh sekitar 14,8 persen. Aset perbankan syariah sendiri diproyeksikan menembus Rp1.205 triliun, dengan pembiayaan sekitar Rp794 triliun yang tumbuh hampir 11,9 persen dan dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp952,9 triliun dengan pertumbuhan 12,55 persen.

“Keuangan syariah tidak lagi sekadar pelengkap, tetapi telah menjadi salah satu pilar pertumbuhan sektor keuangan nasional. Pertumbuhan aset, pembiayaan, dan DPK perbankan syariah yang konsistem dua digit menunjukkan kepercayaan dan preferensi masyarakat yang terus menguat,” ujar Banjaran.

Di hilir, tim ekonom BSI melihat industri halal menjadi penguat penting bagi kinerja perdagangan dan konsumsi. Konsumsi produk halal domestik diperkirakan mencapai US$259,8 miliar pada 2026, tumbuh sekitar 5,88 persen dan menyumbang lebih dari 30 persen konsumsi rumah tangga nasional.

Di sisi ekspor, produk halal berkontribusi sebesar 20 persen dari total ekspor barang non-migas Indonesia, diproyeksikan naik menjadi USD73,9 miliar dengan pertumbuhan sekitar 8,73 persen, termasuk ekspor non-sawit yang terus meningkat.

Kinerja konsumsi tersebut juga tercermin dari BSI Muslim Consumption Index yang dikeluarkan oleh tim ekonom BSI, yang menunjukkan bahwa konsumsi Muslim di Indonesia “tumbuh tetapi makin selektif”. Tren kenaikan terlihat pada kategori makanan-minuman halal, kosmetik halal, kesehatan, pendidikan, dan perjalanan ibadah.

Tim ekonom BSI menilai pola konsumsi ini akan menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi, sekaligus peluang bagi sektor-sektor yang terkait langsung dengan gaya hidup halal dan keuangan syariah.

Baca juga: Cara Mudah Melunasi Biaya Haji 2026 Lewat Layanan Digital BSI

Selain itu, penerimaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya (ZIS-DSKL) diproyeksikan naik dari Rp44,56 triliun pada 2025 menjadi Rp52,66 triliun pada 2026, tumbuh 18,17 persen.

Tim ekonom BSI menyebut bahwa meningkatnya preferensi berbagai masyarakat berpotensi memperkuat fondasi pemerataan ekonomi, terutama bila diintegrasikan dengan pembiayaan syariah formal dan program-program pemberdayaan pemerintah.

Banjaran menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar memasuki fase pertumbuhan yang lebih kuat dan inklusif di 2026. “Tantangan tetap ada risiko global, kedalaman pasar keuangan yang masih terbatas, dan kebutuhan menciptakan lebih banyak pekerjaan berkualitas,” ungkap Banjaran.

“Namun, dengan kebijakan yang tepat dan pemmanfaatan penuh potensi ekonomi syariah, Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga melompat ke level pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya. (*) Ayu Utami

Halaman123

Page: 1 2 3

Galih Pratama

Recent Posts

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI, Bukti Peran Strategis dalam Stabilitas Ekonomi RI

Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More

9 mins ago

Segini Kekayaan Menhut Raja Juli Antoni yang Diminta Mundur Anggota DPR

Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More

26 mins ago

DJP Tunjuk Roblox dan 4 Perusahaan Digital Jadi Pemungut PPN, Ini Rinciannya

Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More

30 mins ago

BEI Tekankan Kolaborasi dan Tanggung Jawab Bersama Bangun Masa Depan Hijau

Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More

1 hour ago

Balikkan Keadaan, Emiten PEHA Kantongi Laba Bersih Rp7,7 M di September 2025

Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More

2 hours ago

Unilever Bakal Tebar Dividen Interim Rp3,30 Triliun, Catat Tanggalnya!

Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More

2 hours ago