Oleh Adler Haymans Manurung
Jakarta – Bank Rakyat Indonesia (BRI) dikenal sebagai bank yang dekat dengan rakyat kecil, sejak didirikan pada 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah. Bank ini membangun kantor hampir di semua pelosok perdesaan. Saat ini BRI mempunyai 5.293 BRI Unit, plus 2.457 Teras Unit. BRI melakukan initial public offering (IPO) untuk mendapatkan dana dari masyarakat pada 2003 dan merupakan saham yang sangat aktratif pada saat itu, terutama untuk sektor perbankan.
Ketika pemerintah ingin membantu masyarakat dalam berusaha dan meningkatkan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat pertanian, BRI dipergunakan untuk menyalurkan kredit. Bank ini ditunjuk pemerintah sebagai agen pembangunan yang menyalurkan kredit kepada masyarakat—pada waktu itu (1969) dikenal dengan pinjaman Bimbingan Masyarakat (Bimas).
Pada 1984 BRI juga menyalurkan kredit kepada pelaku bisnis mikro sebagai pengganti Program Bimas. Setelah kejadian itu, BRI dikenal sebagai bank yang melayani bisnis mikro yang sedang berkembang di masyarakat. Bahkan, Bank Dunia atau lembaga keuangan internasional yang ingin melakukan tindakan untuk menyalurkan kredit mikro datang ke bank ini untuk belajar.
Sebagai bank yang makin sukses dan terbaik bagi berbagai pihak, bank ini terus melakukan investasi dengan berbagai inovasi dalam rangka melayani nasabahnya. Begitu besarnya nasabah yang dimiliki dan adanya lompatan teknologi untuk nasabahnya, BRI pun membeli satelit untuk kepentingan bisnisnya. Satelit tersebut tidak saja dapat dipergunakan untuk kepentingan BRI, tapi juga untuk bank lain, terutama bank pemerintah.
Diperkirakan bank ini sudah bisa masuk menguasai financial technology (fintech) yang sangat berkembang dan digandrungi saat ini. Adanya teknologi yang dimiliki BRI tidak heran bagi kita bila melihat BRI ada di perdesaan dan bahkan menguasai dalam lima tahun ke depan. Akibatnya, bank pemerintah yang lain ikut serta dalam rangka juga melayani nasabahnya.
Strategi BRI yang tetap konsentrasi pada ritel seperti yang dialami sebelum go public membuatnya cepat bertumbuh. Bank ini selayaknya tidak serta-merta mengikuti gaya bank lain untuk mengurusi korporasi karena kekecewaannya (risiko) lebih besar daripada profit yang diharapkan. Pelayanan terhadap yang kecil perlu ditingkatkan untuk meningkatkan reputasi dan kinerja bank ini. SDM yang bagus dimiliki bank ini perlu dicontoh dan bisa dipakai untuk memperbaiki bisnis/usaha pemerintah yang lain.
Bila diperhatikan secara besaran aset, aset bank ini mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Pada 2010 aset BRI sebesar Rp404 trilliun dan terus mengalami kenaikan menjadi Rp802 triliun pada 2014. Artinya, dalam tempo empat tahun aset menjadi dua kali lipat dan pada 2017 telah mencapai Rp1.126 triliun.
Pengelolaan yang baik membuat bank ini menjadi bank terdepan dan menjadi kepercayaan masyarakat. Asetnya meningkat tajam. Berdasarkan data yang dipublikasikan bank ini, pendapatan bunga bersih pada 2017 sebesar Rp73 triliun, meningkat 11,59% dari Rp65,42 triliun pada 2016, sementara pendapatan bunga bersih 2015 sebesar Rp58,28 triliun. Pertumbuhan yang cukup menarik dibandingkan dengan beberapa bank lainnya.
BRI memberikan dividen kepada pemilik saham. Dividen bank Rp122,28 per saham pada 2012, meningkat mendekati dua kali lipat menjadi Rp225,23 per saham pada 2013 dan terus meningkat pada 2016 menjadi Rp311,66 per saham. Laba bersih per saham pada 2017 sebesar Rp232,9 per saham sehingga kemungkinan mendapatkan dividen sekitar 50%, maka akan diperoleh laba bersih sekitar Rp115 per saham.
Sebagai bank terdepan untuk membantu masyarakat, terutama masyarakat perdesaan, BRI diharapkan mendapatkan laba bersih per saham Rp265 untuk periode 2018 dan sebesar Rp295 untuk periode 2019. Bila harga saham ini Rp3.800, maka PE sebesar 14,34 kali untuk periode 2018 dan 12,88 kali untuk periode 2019. Namun, bila diperhatikan nilai buku bank ini sebesar Rp1.356,73, maka diperoleh rasio harga terhadap nilai buku sebesar 2,8 kali, sementara pada periode 2016 sebesar 2,03 kali lebih rendah daripada periode 2015 yang sebesar 2,43 kali. Artinya, bila Anda melakukan investasi maka terlalu mahal sementara ada bank lain yang cukup murah.(*)
Penulis adalah guru besar pasar modal dan perbankan Bina Nusantara University