Jakarta – Sebagai salah satu lembaga keuangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat kecil atau pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), bank perekonomian rakyat (BPR) dituntut untuk selalu menjaga neraca keuangan dengan baik dan mampu mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin muncul. Layaknya bisnis bank pada umumnya, BPR juga memerlukan modal yang kuat supaya bisa berekspansi.
Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator meminta BPR untuk memperkuat permodalannya. Pada 2015 lalu, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 5 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR. Para pemain di industri ini pun mesti memenuhi permintaan OJK tersebut, yang implementasinya dilakukan secara bertahap.
Pada tahap pertama, OJK mewajibkan BPR-BPR untuk memenuhi modal inti minimum (MIM) sebesar Rp3 miliar sebelum tenggat akhir 31 Desember 2019. Kemudian, OJK meningkatkan lagi MIM bagi BPR menjadi Rp6 miliar, yang wajib dipenuhi sebelum 31 Desember 2024.
Batas waktu pemenuhan ketentuan MIM yang ditetapkan OJK ini sudah sangat dekat. Mayoritas BPR pun sudah berhasil memenuhi ketentuan tersebut. Dan, beberapa dari mereka sudah merasakan manfaatnya terhadap keberlangsungan usaha mereka.
Salah satu BPR yang sudah berhasil memenuhi ketentuan MIM adalah BPR BKK Wonogiri. Menurut Sarti, Direktur Utama BPR BKK Wonogiri, MIM BPR ini sudah menyentuh Rp41,70 miliar di 2015. Pemenuhan MIM ini berdampak pada ciamiknya kinerja perusahaan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank rural ini pun meningkat.
“Ketika perusahaan (BPR) ini sudah memiliki permodalan yang kuat, artinya lembaga ini akan tumbuh kembang dengan baik dan memiliki kemampuan bayar yang tinggi. Sehingga, kepercayaan masyarakat kepada bank pun akan tinggi,” ujar Sarti kepada Infobank, bulan lalu.
Baca juga: 1.001 PR BUMN Era Prabowo-Gibran
Apa yang dialami BPR BKK Wonogiri boleh jadi juga dirasakan BPR-BPR lain di Indonesia. Dan, sejatinya, inilah yang diharapkan OJK ketika mengeluarkan peraturan tersebut, sembilan tahun silam.
Meski demikian, beberapa BPR tercatat masih belum bisa memenuhi ketentuan tersebut. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), per Desember 2023, setidaknya masih ada 98 bank rural dengan aset di atas Rp25 miliar yang belum memenuhi ketentuan OJK dalam hal MIM. Jumlah ini berkurang menjadi 80 BPR pada Juni 2024.
Data Biro Riset Infobank bahkan memperlihatkan sejumlah BPR yang MIM-nya tidak mencapai setengah dari ketentuan OJK. Selain itu, angka tersebut belum termasuk BPR-BPR yang asetnya di bawah Rp25 miliar. Ini menunjukkan bahwa ada potensi lebih banyak lagi pemain yang belum mencapai MIM sesuai dengan ketentuan regulator.
Perbankan merupakan industri yang seharusnya paling taat regulasi karena peran mereka yang integral dan terhubung ke banyak sektor lainnya. Jika ada satu atau dua bank yang tidak patuh terhadap aturan, tentu akan mencoreng muka industri secara keseluruhan dan berpotensi memberikan dampak buruk terhadap sektor-sektor lainnya.
Masih banyaknya bank rural yang belum mencapai MIM sesuai dengan ketentuan OJK menjadi bukti bahwa regulasi ini perlu dipertimbangkan ulang oleh regulator. Ada sejumlah aspek yang menjadi batu sandungan bagi pelaku industri untuk memenuhi ketentuan MIM sebesar Rp6 miliar, dan perlu menjadi perhatian khusus bagi regulator. Diawali dengan pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pada 2020 lalu.
Perlu diakui, dampak pandemi masih dirasakan pelaku industri BPR. Salah satu indikasinya terlihat dari meningkatnya kredit macet di industri ini, yang per Juli 2024 menembus angka 11,49 persen.
Belum lagi beberapa permasalahan klasik yang masih sering dihadapi pelaku industri. Menurut Ade Umar, Direktur Utama BPR Bobato Lestari, para pelaku industri bank rural masih berjibaku dengan sejumlah tantangan, mulai dari keterbatasan keuangan, mismanagement, hingga risiko kredit mikro, mengingat BPR kerap berhadapan dengan pelaku UMKM.
Gejolak ekonomi makro dan regulasi pun berpengaruh terhadap kinerja industri BPR. Dengan demikian, kemampuan BPR memenuhi ketentuan MIM tak hanya bergantung pada kondisi masing-masing bank, tapi juga kondisi eksternalnya.
“Peluang BPR-BPR dalam memenuhi deadline ekuitas sebesar Rp6 miliar pada akhir 2024 sangat bervariasi tergantung pada kondisi masing-masing BPR dan faktor eksternal. Dengan dukungan dari pemerintah, regulator, dan upaya yang dilakukan oleh masing-masing BPR, sebagian besar BPR dapat memenuhi ketentuan modal ini,” terang Ade kepada Infobank.
Memang, ada beberapa cara yang bisa dilakukan bank rural untuk bisa mencapai MIM yang dipersyaratkan regulator, seperti merger atau mencari investor baru. Namun, ini bukan jalan mudah bagi BPR lantaran pelaksanaannya memerlukan waktu yang tak sebentar. Sementara, batas waktu pemenuhan MIM sangat mepet.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya regulator mendengar dan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang dialami BPR. Melihat realitas di lapangan yang masih jauh dari perkiraan, akan lebih bijaksana jika regulator meninjau kembali batas waktu pemenuhan MIM pada 31 Desember 2024 nanti, dan memperlonggar kebijakannya, menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Baca juga: Deadline Akhir 2024! OJK Perintahkan BPR Merger untuk Penuhi Modal Inti
Hal itu disuarakan sejumlah pelaku industri BPR. Salah satunya, Firman Ananda Moeis, Direktur Utama BPR Intidana Sukses Makmur.
“Jika OJK mempertimbangkan untuk memberikan insentif atau kelonggaran bagi BPR yang menunjukkan kemajuan dalam meningkatkan modal, hal ini dapat membantu mereka dalam mencapai target tersebut,” ujar Firman kepada Infobank.
BPR merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki peranan penting dalam perputaran ekonomi daerah. Fakta bahwa banyak bank rural yang beroperasi secara konvensional, menjemput bola, menjangkau daerah pelosok, menjadi senjata yang bisa dikapitalisasi ketika berhadapan dengan peran masyarakat mikro dan unbankable.
Aspek tersebut masih menjadikan BPR sebagai salah satu yang terdepan, dibandingkan dengan pelaku jasa keuangan lainnya. Karena itu, jangan sampai BPR-BPR yang banyak membantu dan mengayomi masyarakat ini lenyap dari garis terdepan perekonomian daerah karena belum mampu memenuhi ketentuan MIM. (*) Mohammad Adrianto Sukarso