Oleh. Eko B. Supriyanto
WIMBOH Santoso, Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memberi sebuah sinyal. Seusai pertemuan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pertengahan April 2022, dia memberi pernyataan bahwa UMKM, termasuk bank perkreditan rakyat (BPR), dapat go public lewat papan akselerasi. Pernyataan BPR untuk go public perlu digarisbawahi oleh pelaku BPR. Intinya, BPR perlu berubah karena lingkungan bisnis berubah dengan maraknya digitalisasi.
BPR harus berbenah diri mengikuti arus besar perubahan, yaitu digitalisasi. Belakangan, para pesaing pun muncul dari bank-bank digital, khususnya dari saving, tentunya juga dari sisi kredit. Bank-bank yang mengaku sebagai bank digital kini menawarkan suku bunga yang jauh dari suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Suku bunga simpanan yang dikerek bank-bank digital berkisar 5%-9%. Dan, banyak yang mematok di angka 7%.
Ekonomi digital tumbuh pesat. Apalagi sejak pandemi COVID-19 merebak. Semua mendadak serba digital. Menurut data dari Menteri Perdagangan, ekonomi digital akan tumbuh delapan kali lipat, dari Rp632 triliun menjadi Rp4.531 triliun di 2030. Pada tahun itu pula, pasar e-commerce akan mendominasi ekonomi digital Indonesia. Pada 2030 diproyeksikan pasar e-commerce akan mencapai Rp1.900 triliun, atau 34% dari pasar digital.
Menurut data The Finance Institute, selama pandemi COVID-19, pertumbuhan aset, dana, dan kredit/pembiayaan melandai. Pertumbuhannya di kisaran 9%-11% untuk aset dan dana. Untuk kredit lebih rendah lagi, sekitar 5,9%. Hal yang tak jauh berbeda dengan bank umum nasional. Pandemi COVID-19 telah menekan perkreditan.
Sementara, untuk NPL, di 2021 lalu ada kemajuan. Pada 2020 NPL (gross) mencapai di atas 7% dan NPL (net) masih di atas 5%. Namun, di 2021 kondisinya sudah membaik. NPL (gross) turun menjadi 6,77% dan NPL (net) sudah di bawah 5%. Memang tingkat profitabilitasnya sedikit menurun dari 1,87% menjadi 1,78%.
Harus diakui, kebijakan relaksasi dari OJK, berupa restrukturisasi, tak hanya menolong bank-bank umum, tapi juga BPR. Kendati demikian, yang harus diperhatikan adalah setelah Maret 2023, ketika terjadi normalisasi dari restrukturisasi. Jangan sampai kebijakan restrukturisasi hanya menunda “bom waktu” meledak.
Untuk itu, baik OJK maupun seluruh komponen terkait, harus terus mendorong BPR melakukan kolaborasi dengan fintech dalam penyaluran pembiayaan UMKM. Kolaborasi penyaluran kredit antara BPR dan fintech memungkinkan perluasan penyaluran kredit. Langkah kolaborasi ini paling tidak akan meningkatkan pangsa pasar, memperluas sektor ekonomi, memperluas model bisnis, dan terpenting efisiensi dan efektivitas bisnis penyaluran kredit.
Tidak berhenti sampai di situ. Bayangkan saat ini ada 16,4 juta UMKM yang on boarding ke ekosistem digital. Pengembangan ekosistem digital melalui super app BPR. Banyaknya UMKM yang beralih ke digital tentu membuat peluang makin lebar. Kalangan BPR harus lebih inovatif melalui pengembangaan ekosistem digital. Salah satunya melalui pengembangan super app.
Sejalan dengan maraknya ekonomi digital, perlu dilakukan banyak antisipasi. Salah satu yang terpenting adalah bagaimana memitigasi “begal” digital (cyber crime), dan belajar dari “rentenir” online (pinjol yang abal-abal) – terutama dalam hal penagihan. Tantangan makin berat, khususnya bagi BPR yang tradisional dengan modal cekak, karena selain perlu tambah modal untuk daya tahan, sumber daya manusia dengan kultur digital juga perlu mendapat perhatian. Tidak mudah.
Sebagai pembanding – para pinjol yang selama ini ada, tidak sedikit yang dimiliki oleh asing. Sisi baiknya, jika BPR go public, maka kemudahan menambah modal makin terbuka. Konsolidasi BPR akan makin cepat, dan tentu BPR dengan modal cekak harus menyesuaikan dengan perubahan ini. Ke depan, modal yang kuat tidak hanya untuk meningkatkan daya tahan, memperluas pelayanan dan sekaligus mendorong proses digitalisasi BPR.
Digitalisasi BPR bukan sekadar teknologi, tapi lebih pada budaya dan visi dari para pemilik bank dan pengurusnya. Di tengah bergentayangannya “tuyul” digital yang menawarkan “pesugihan” – seperti robot-robot yang akhirnya menghabiskan uang masyarakat – BPR harus tetap melakukan langkah digitalisasi. Langkah digitalisasi BPR ini sebagai upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah.
Bahkan, kalau perlu, seluruh BPR berperilaku layaknya peer to peer (P2P) lending, atau pinjol. Semua BPR diubah seperti pinjol dengan basis nasabah yang sudah ada. Langkah BPR menjadi model pinjol ini – tentunya dengan dukungan (kolaborasi) infrastruktur IT dari negara lewat BUMN, seperti Telkom, atau BUMN yang lain jika tidak mendapatkan dari APBN lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ide BPR untuk initial public offering (IPO) setidaknya perlu didorong. Istilah BPR asli Indonesia karena investor asing tidak boleh masuk UMKM tentu perlu sedikit digeser ke yang lebih luas. Sepanjang BPR dapat melayani banyak nasabah, makin mendorong pertumbuhan UMKM, tentu IPO menjadi langkah yang perlu didukung. Tidak perlu khawatir berlebihan apabila BPR melantai di bursa. Sudah waktunya BPR membuka diri dengan pihak asing lewat go public.
Langkah go public bagi BPR sudah tentu akan mengubah wajah BPR ke arah yang lebih progresif sesuai dengan tuntutan zaman. Jangan biarkan BPR seperti “sandwich” – atas bawah mendapat tekanan. Dari atas ditekan KUR bank umum dan dari bawah dipepet “rentenir”, baik rentenir online maupun yang offline.
Gagasan OJK agar BPR go public perlu dikawal dan ditindaklanjuti. Jangan sampai gagasan besar BPR go public lenyap begitu saja seiring habisnya masa tugas Wimboh Santoso menjadi Ketua OJK, Juli 2022 ini.
Dunia sudah berubah, dan BPR harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah agar tidak punah seperti film Kodak. Digitalisasi tak bisa dihindari di tengah perubahan yang makin cepat. Bahwa ada “tuyul” digital, “begal” digital, dan “rentenir” online “abal-abal”, itu hanyalah ekses yang perlu dimitigasi. Proses digitalisasi BPR tidak boleh berhenti dan tentu gagasan BPR IPO jangan hanya wacana.
Sebagai tahap awal, ada baiknya BPR bisa bekerjasama dengan Fintech, dalam hal ini OJK sudah mendorong. Tapi, seperti biasa, izin soal payment tidak mudah didapat dari Bank Indonesia (BI). Jangankan BPR, bank umum kelas kecil saja susahnya minta ampun. Bank Indonesia yang selalu bicara UMKM ada baiknya mendorong BPR melakukan digitalisasi ini. (*)