Yogyakarta – Dunia usaha saat ini sedang memasuki tahap revolusi industri 4.0. Revolusi industri menimbulkan manfaat dan pengorbanan. Manfaat dari sisi produktivitas tapi pengorbanannya ialah karyawan akan dikurangi. Inilah yang harus diperhatikan, pelaku bisnis termasuk pengurus BPR.
Supaya BPR bisa bertahan, menurut Tony Prasetiantono, Ekonom UGM, BPR harus mampu bertahan terhadap perubahan. “Prospek BPR adalah bagaimana BPR beradaptasi dengan perubahan. Untuk itu butuh modal. Dalam hal ini modal akan mempengaruhi efektivitas dan produktivitas,” kata Tony di acara BPR Award Infobank 2018, di Yogyakarta, Rabu, 15 Agustus 2018.
Dia menambahkan, berkembangnya teknologi membuat situasi perbankan dan BPR khususnya sudah berbeda dengan kondisi ketika BPR pertama kali muncul saat Pakto 88. “BPR harus mampu beradaptasi, itu kuncinya,” ucap Tony.
Baca juga: BPR Harap Keberpihakan Regulator
Sementara, Satya Rinaldi, Chief Strategist & IT GRC Veda Praxis menjelaskan, fintech kini berkembang pesat, terutama di sektor Peer to Peer lending. Hal ini boleh dikata merupakan bagian dari disrupsi terhadap lembaga jasa keuangan konvensional seperti bank dan BPR. Selain itu saat ini juga sudah berkembangbanyak teknologi baru seperti artificial intelligent dan blockchain.
“Menjawab tantangan itu, BPR harus punya strategi, sumber daya dan investasi yang tepat guna. Ini akan membuat BPR lebih gesit dalam beradaptasi dengan perubahan,” jelas Satya.
Di lain sisi, Nugraha Santosa, Presiden Direktur Diebold Nixdorf mengatakan, bank saat ini perlu produk baru dan saluran yang lebih luas (omni channel) untuk bertahan. Makanya, sekarang berkembang digital banking. “Ke depan, bank-bank akan mengalami digital journey yang luar biasa,” pungkasnya. (Ari Nugroho).