Kembalinya Debitur Sontoloyo

Kembalinya Debitur Sontoloyo

Jakarta – PRESIDEN Joko Widodo dalam berbagai kesempatan berulang-ulang mempersoalkan masalah wait and see dunia usaha. Presiden seperti setengah tidak percaya mengapa dunia usaha tidak bergerak lebih cepat. Istilah Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, saat ini pengusaha seperti “ayam stres”, yang harusnya bertelur tapi tidak bertelur karena stres akibat persoalan pajak dan menunggu pilkada serta pilpres.

Tidak ada alasan untuk wait and see, demikian kata Presiden dalam kesempatan dengan para bankir dan pelaku usaha di sektor keuangan, pertengahan bulan lalu. Ekonomi global membaik. Ekonomi dalam negeri optimistis terus tumbuh dengan inflasi terkendali. Cadangan devisa relatif besar dan aman dengan surplus perdagangan yang berlanjut. Dunia luar juga menilai Indonesia masuk dalam investment grade dengan rating dari stabil ke positif. Tidak hanya itu. Kemudahan berusaha juga meningkat. Namun, mengapa masih wait and see?

Sektor perbankan yang kreditnya tumbuh single digit dengan membanjirnya likuiditas ke bank sebenarnya adalah tanda paling kasatmata. Itu artinya dunia usaha tidak mau dagang, lebih baik beternak di bank—walau kecil hasilnya. Harusnya untuk pertumbuhan ekonomi 5,4% diperlukan pertumbuhan kredit empat kalinya atau setara 20%. Namun, dua tahun terakhir ini kredit tidak menjadi mesin pertumbuhan dan lebih banyak dari konsumsi yang digerakkan oleh utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri.

Lebih celaka lagi, walau rating Indonesia sudah positif, yield bond masih mahal. Bandingkan dengan Vietnam, yang hanya di rating BB- saja surat utangnya cuma 2,5%. Indonesia yang sudah BBB+ kok malah lebih mahal. Banyak pertanyaan. Apakah outlook Indonesia tidak menjanjikan atau kita masih menjadi good boy atau “anak baik”, atau karena memang Indonesia sedang butuh uang cepat untuk pembiayaan pembangunan?

Pengusaha sedang stres benar, kata Dahlan Iskan. Tanda-tanda makro tidak dipedulikan. Dunia usaha sering melihat tidak ada kepastian hukum dan di lapangan lingkungan investor tidak mendukung. Sering kali pemerintah dan hukum melihat masalah masa lalu dengan kacamata sekarang. Kasus BLBI, misalnya, adalah sebuah contoh yang kasatmata.

Waktu krisis masa lalu ada penyelesaian di luar pengadilan, asal kooperatif dan membayar dengan pola MSAA, MRNIA, dan APU yang sudah disepakati atas usulan IMF dan pemerintah setuju, DPR RI setuju, dengan Tap MPR RI plus audit BPK. Kasus tersangkanya Syafruddin A. Temenggung, mantan Ketua BPPN terakhir, adalah sebuah monumen bahwa Indonesia tidak punya kepastian hukum. Lah, yang tidak membayar, tidak kooperatif, serta tidak menyelesaikan urusannya, tidak dilakukan apa-apa.

Saat ini soal tax amnesty punya masalah baru. Apakah kalau yang sudah ikut tax amnesty pada masa yang akan datang tidak diutak-atik lagi. Bagaimana bisa memastikan jika rezim berganti? Itulah yang menjadi ketakutan di kalangan dunia usaha sekarang ini. Aroma politik masuk ke mana mana. Walau ada decoupling antara politik dan dunia usaha, jika rekening bank sudah bisa dibuka—siapa yang akan nyaman berusaha.

Namun, di sisi dunia usaha juga tidak semua baik. Kredit macet terjadi di bank-bank dan terutama bank-bank BUMN. Banyak debitur yang sontoloyo, debitur-debitur kelas komersial atau debitur OKB, yaitu debitur yang masih sibuk dengan urusan penampilan atau nanggung atau kelas Rp100 miliar sampai dengan Rp500 miliar. Mereka umumnya perusahaan keluarga, tidak punya pembukuan rapi, dokumennya tidak lengkap. Mereka juga menggunakan jasa penilai yang bisa diatur.

Mereka sengaja menggunakan alasan kelesuan bisnis untuk tidak membayar pinjamannya, padahal aset pribadi banyak, tapi tetap tidak membayar pinjaman. Bahkan, mereka lebih suka masuk pengadilan. Rata-rata bank yang sering diasosiasikan banyak madunya oleh berbagai pihak sering kali dikalahkan.

Nah, sekarang pemerintah akan membuat Asset Management Unit (AMU), semacam BPPN Jilid 2 untuk membersihkan kredit macet. Perusahaan yang digunakan untuk menampung kredit macet ialah PT Bahana. Nantinya bank-bank BUMN akan menyerahkan kredit macetnya ke Bahana dan bank-bank BUMN hanya akan mengelola aset yang baik. Konsep ini baik adanya; bank bisa fokus ke kredit baru, OJK senang karena tidak pusing-pusing amat berkelahi soal kolektibilitas, dan Bahana dapat proyek baru.

Namun, pengalaman BPPN yang sebenarnya tidak bisa dihindari ialah debitur-debitur sontoloyo yang masuk AMU ini tidak bisa berulah lagi. Debitur sontoloyo harus dib-lack list, baik nama maupun perusahaannya. Jangan sampai macet di sana, gali utang di sini. Apalagi, nanti, begitu masuk AMU, dijual-dibeli lagi oleh debitur yang sama dengan harga murah. Nantinya Bahana juga harus memperhitungkan recovery rate. Debitur sontoloyo ini harus “digunting”. Sebaliknya, kalau debitur sudah menyelesaikan urusan pinjamannya harusnya juga selesai, dan tidak diungkit-ungkit pada masa mendatang.

Penyelesaian kredit macet dengan membuat AMU atau SPV bagi bank swasta adalah baik adanya. Memisahkan bad bank dengan good bank. Namun, yang harus dijaga ialah moral hazard dalam penyelesaiannya ketika asetnya dibuang lagi ke pasar. Jangan sampai recovery rate-nya negotiable dan rendah serta penjual kredit macetnya akan dikenai hukuman di kemudian hari seperti mantan pejabat BPPN sekarang yang selalu dituduh dengan banyak hal.

Kita tidak bisa melihat masalah masa lalu dengan kacamata sekarang. Itulah mengapa pengusaha masih wait and see dan bank-bank juga masih takut berbuat karena banyak juga debitur komersial yang sontoloyo. Harusnya pihak berwajib berada di belakang bank dan tidak memanjakan debitur yang jelas-jelas tidak membayar kewajibannya.

Itulah mengapa angka-angka optimistis makro masih dijawab dengan wait and see karena kepastian hukum masih di bibir dan ketiak para politisi.

Related Posts

News Update

Top News