OJK Harus Dapat Membendung Nafsu Intervensi Pemda
Oleh: Eko B. Supriyanto
Direktur Utama Bank Sumsel Babel, Muhammad Adil dicopot oleh Gubernur Sumatera Selatan selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP). Tak hanya di BPD Sumsel Babel, tapi sebelumnya juga terjadi di beberapa BPD. Dirut dicopot, dibiarkan kosong kursinya, bagi Kepala Daerah, sepertinya hal yang lumrah saja.
Ganti Kepala Daerah (Gubernur), lalu ganti Direksi BPD boleh jadi sudah dinilai sebagai siklus normal. Dan, itu memang siklus yang sering terjadi di kepengurusan BPD saat ini — di zaman Pilkada langsung. Apalagi, direksi lama sering dikonotasikan sebagai orang Gubernur lama. Kenyataan inilah sehingga BPD sering menjadi mainan politik.
Pergantian direksi dan komisaris adalah domain pemegang saham. Hak penuh Pemda sebagai pemegang saham. Tapi yang perlu diperhatikan bank tentu tidak bisa disamakan dengan perusahaan sektor riil seperti PDAM atau sejenisnya. Bank adalah lembaga intermediasi untuk mendorong perekonomian dengan unsur kepercayaan masyarakat. Kepercayaan mengelola dana masyarakat inilah yang wajib dijaga agar bank terus tumbuh mensejahterakan masyarakat.
Sejak krisis 1998, pengelolaan bank sudah berubah. Kini bank dikelola dengan prudent karena banyak risiko yang menghadang. Jadi, bank tak bisa dijadikan mainan politik atau bisnis pemiliknya. Konsekuensi risikonya besar, karena jika terjadi kebangkrutan akan menimbulkan dampak keuangan Negara seperti krisis 1998 lalu, termasuk BPD yang juga direkapitalidasi. Jadi tak bisa diperlakukan sebagai “pampasan perang”.
Kondisi BPD sejauh ini boleh dikatakan sudah lebih baik, bahkan sudah ada BPD yang go publik. Aset BPD terus bertumbuh dengan peran makin besar, meski juga banyak yang harus diperbaiki terutama masalah tata kelola karena faktor pemegang saham. Intervensi yang dalam dari PSP adalah problem kronis BPD sejak dulu hingga sekarang dan makin menjadi jadi. Lahirnya PP No54 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dinilai mengembalikan BPD kembali ke belakang — jauh dari unsur korporasi selayaknya bank.
Baca juga: PP Nomor 54 Tahun 2017: Mengembalikan BPD ke “Zaman Primitif”
Pasal-pasal yang tertuang dalam PP No 54 tahun 2017 itu memandulkan BPD. Jelas, tidak memandang bank sebagai layaknya bank, tapi lebih pada BUMD biasa. Namun kalau mau jujur, pengertian BUMD dimana harus memiliki 51 persen, sejatinya tidak ada BPD yang dimiliki oleh satu Pemda sebesar 51 persen keduali Bank DKI. Jadi, PP No 54 bisa diabaikan atau pihak OJK menggunakan undang undang lex specialistnya.
Sudah waktunya BPD dihindarkan dari tangan-tangan halus dari kepentingan sesaat Pemda. Pergantian bisa saja dilakukan, tapi tentu harus lebih baik dengan ukuran yang lebih jelas atau oleh profesional yang lebih baik. Untuk itu, pertama, pihak OJK harus bisa lebih bisa menahan atau mengingatkan agar pihak PSP tidak sewenang-wenang. Kedua, pergantian bukan dasar politik atau warna politik tapi berdasarkan profesional dengan key performance indicator (KPI) yang jelas. Ketiga, seperti ditutukan oleh Sigit Pramono, mantan pengurus Perbanas, seluruh BPD dimerger menjadi bank pembangunan yang dimiliki oleh Pemda di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, unsur intervensi dapat diminimalisasi. Keempat, problem BPD sejatinya adalah problem pemegang saham, jadi satu satunya yang bisa menahan nafsu Pemda adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tentunya diharapkan unsur pembinaan oleh OJK lebih kuat dibandingkan unsur pengawasan. Apalagi, seperti dikeluhkan oleh hampir semua BPD di daerah kalau tenaga pengawas di lapangan belum banyak yang paham akan pengawasan bank karena masih muda dan belum punya jam terbang.
Lima, jika belum ada penggantinya, sebaiknya jangan dibiarkan posisi dirut kosong seperti terjadi di Bank Sumsel Babel dan beberapa BPD lainnya. Posisi dirut di se buah bank merupakan posisi strategis dalam pengembalian keputusan.
Sudah waktunya pemerintah daerah tidak menjadikan kembali BPD sebagai kasir daerah dan mulai memutus siklus ganti kepala daerah ganti direksi sesuai selera dan bukan kinerja. Peran direksi BPD bukan melayani kepala daerah tapi untuk pembangunan di daerah yang lebih sejahtera. Jika BPD berkinerja sangat bagus dan berperan meningkatkan ekonomi daerah pada akhirnya Pemda dan Kepala Daerah mendapatkan manfaat.
Sudah waktunya BPD dihindarkan dari permainan politik kepala daerah, tapi dengan PP No 54 tahun 2017 dan masih terus adanya “intervensi politik” kepada daerah, BPD rasanya sulit akan berkembang besar menghadapi tantangan yang makin komplek. Tak hanya disruption, tapi juga menyangkut new landscape persaingan dengan non bank yang sudah di depan mata. Direksi dan Komisaris BPD bukan tim sukses kepala daerah, tapi dia seorang profesional dengan kapabalitas yang mumpuni yang menganut etika bankir yang sudah digariskan. Sudah waktunya OJK dapat membendung keinginan kepala daerah yang mempermainkan BPD. Sebaliknya, jangan sampai para direksi dan komisaris yang gajinya “tebal” ini hanya semacam kasir belaka tanpa integritas dan hanya semacam tum sukses Pilkada semata. Seorang bankir itu tak hanya profesional tapi punya etika dan moral yang baik sesuai tata kelola. Sudah waktunya menjaga BPD secara bersama untuk pembangunan di daerah. Problem BPD sejak dulu tetap di pemegang saham. Jika demikian, maka BPD akan terus terpinggurkan di zaman disruption ini.
Penulis Pimpinan Redaksi InfoBank