Jakarta – PT Bank SMBC Indonesia Tbk (SMBC Indonesia) menyebutkan bahwa volatilitas harga saham perbankan yang terjadi beberapa waktu lalu dipicu oleh sentimen pasar.
Direktur Utama SMBC Indonesia Henoch Munandar menjelaskan, harga pasar bisa dipengaruhi oleh dua hal, yaitu dari sisi fundamental emiten dan persepsi pasar. Menurutnya, fluktuasi yang terjadi di saham-sahah perbankan disebabkan oleh persepsi pasar.
“Kalau kita lihat yang kemarin (harga saham perbankan), lebih condong ke arah persepsi pasar,” kata Henoch dalam Buka Puasa Bersama SMBC Indonesia, dikutip, Selasa 11 Maret 2025.
Henoch menyebutkan bahwa, kondisi fundamental perbankan di Indonesia masih positif, seperti dari sisi permodalan yang maish jauh diatas rata-rata nasional hingga indikator lainnya yang masih cukup solid.
Baca juga: Kian Agresif, Bos Tugu Insurance Kembali Serok Saham Perseroan
Di sisi lain, kata Henoch, patut diwaspadai apakah gejolak harga saham perbankan yang dipicu sentimen pasar ini akan berlanjut atau tidak dalam jangka pendek. Namun, untuk jangka menengahnya juga perlu dilihat bagaimana kinerja fundamental per emiten dalam menjaga harga pasar.
“Tapi yang kita harapkan dengan berbagai komunikasi, persepsi pasar ini bisa direndahkan. Tapi kalau jangka menengah, tentu akan melihat per emiten, fundamentalnya bagaimana. Jadi saya lebih melihat jangka menengah dan panjang. Bagaimana performance dari si emiten,” ungkapnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, sektor perbankan Indonesia mendapatkan respons yang baik dari investor. Hal ini adalah dampak dari pertumbuhan kinerja perbankan seperti kredit dan profitabilitas yang selalu mencetak pertumbuhan double digit.
Baca juga: Setelah Morgan Stanley, Kini Goldman Sachs Turunkan Peringkat Saham dan Obligasi RI
“Tapi kan dalam volatility market harus selalu double digit seperti ekpektasi yang dikatakan investor. Itu kan pasti dipengaruhi oleh situasi global,” pungkasnya.
Henoch mengatakan bahwa sektor perbankan pada dasarnya masih memiliki fundamental yang solid. Sementara itu, investor terbiasa dengan pertumbuhan bank yang tinggi.
“Kalau biasanya double digit, sekarang single digit di ujung sudah dianggap penurunan mungkin,” imbuhnya. (*)
Editor: Galih Pratama