Jakarta – Penggunaan artificial intelligence (AI) sudah menjadi hal yang lumrah saat ini. Hampir semua bidang telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan tersebut. Meskipun demikian, belum ada regulasi khusus yang spesifik dan komprehensif untuk mengatur penerapan AI di Indonesia.
Pada 2020, pemerintah Indonesia merilis Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) yang memuat tentang etika dan kebijakan AI, pengembangan talenta AI, serta ekosistem data dan infrastruktur pengembangan AI.
Namun, Stranas AI bukanlah dokumen hukum yang mengikat, melainkan hanya arah kebijakan nasional. Tercatat ada beberapa peraturan yang menyinggung pemanfaatan teknologi AI di Indonesia, misalnya Permenkominfo Nomor 3 Tahun 2021 yang mengatur aspek perizinan bagi pelaku usaha yang menerapkan AI.
Ada UU ITE beserta regulasi turunannya yang mengatur tentang AI dengan terminologi agen elektronik. Lalu, ada pula UU Pelindungan Data Pribadi yang mengatur pemanfaatan AI yang menyangkut pemrosesan data pribadi.
Baca juga: Dengan Teknologi AI, Platform Investasi Kaya Bantu Nasabah Hadapi Volatilitas Pasar
Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di tahun lalu telah mengeluarkan panduan etika pemanfaatan AI bagi pelaku usaha yang tertuang dalam Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Upaya meregulasi pemanfaatan AI turut dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK menunjuk Asosiasi Financial Technology Indonesia (AFTECH) bersama asosiasi industri lainnya yakni AFSI, AFPI dan ALUDI untuk menyusun dan menetapkan Panduan Kode Etik Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya di Industri Teknologi Finansial yang diluncurkan pada awal Desember 2023.
Di samping itu, OJK juga tengah menyusun rancangan peraturan tentang layanan digital oleh bank umum yang di dalamnya memuat prinsip inovasi yang bertanggung jawab dalam pemanfaatan teknologi baru, salah satunya teknologi AI.
Terlepas dari upaya-upaya tersebut, Indonesia tetap membutuhkan regulasi yang secara spesifik menyasar teknologi AI agar pemanfaatannya dapat dilakukan dengan lebih bertanggung jawab dan transparan.
Presiden Direktur IBM Indonesia, Roy Kosasih menekankan pentingnya regulasi yang spesifik dan komprehensif soal penerapan AI, agar teknologi AI lebih mudah diadopsi dan tak disalahgunakan.
“Inilah yang kita coba dorong, berdiskusi dengan pemerintah. Pemerintah juga banyak meminta masukan dari IBM soal etika penerapan AI yang benar, regulasi AI yang benar. Termasuk dari sisi governance-nya,” ujar Roy di Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024.
Roy katakan bahwa telah banyak negara di dunia yang sadar akan pentingnya keberadaan satu set regulasi terkait tata kelola penggunaan AI atau AI governance.
Kesadaran akan pentingnya regulasi lengkap untuk AI governance yang dimulai di Amerika Serikat (AS) sangat vital bagi pengembangan teknologi AI yang hasilnya lebih terpercaya dan tak bias atau menimbulkan halusinasi.
“Kalau bias atau menciptakan halusinasi, berbahaya sekali. Jadi, kita seakan-seakan hidup di dunia maya yang tidak benar. Apakah itu untuk perusahaan atau individu, nanti akan berjalan di jalan gelap,” tegasnya.
Regulasi soal penerapan AI, diharapkan juga diterbitkan oleh pihak perusahaan atau pelaku bisnis untuk internal mereka, termasuk di dalamnya pengaturan soal fungsi otomatisasi dari AI.
Baca juga: Bos IBM Wanti-wanti Hal Ini Jika Perusahaan Tak Adopsi Teknologi AI
“Otomatisasi ini sudah banyak berjalan dengan baik. (Perlu) satu set regulasi bagaimana penerapan AI (dari internal perusahaan). Itu akan menjadi sangat efektif, terutama dalam merapikan tugas atau melakukan kegiatan berulang,” tukas Roy.
IBM sendiri memprediksi, pada 2025, kebutuhan yang beragam dan tuntutan akuntabilitas dari penerapan AI bakal mendorong perusahaan untuk berinvestasi lebih besar pada perangkat AI. Khususnya, untuk menopang visibilitas, tata kelola, serta integrasi AI yang lancar.
Nantinya, perusahaan akan mempertimbangkan tiga aspek penting dalam berinvestasi di teknologi AI, yaitu orkestrasi model, manajemen vendor, dan alat developer. (*) Steven Widjaja