Bos BI Ramal Suku Bunga AS Bakal Turun 50 Bps di 2024

Bos BI Ramal Suku Bunga AS Bakal Turun 50 Bps di 2024

Jakarta – Suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) diperkirakan akan turun sebesar 50 basis poin (bps) atau menjadi 5,25 persen pada tahun 2024.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menjelaskan angka tersebut merupakan perkiraan di mana akan ada kenaikan lagi sebesar 25 bps di hingga akhir 2023.

Saat ini, suku bunga acuan AS berada pada level 5,5 persen, sehingga bila terjadi kenaikan satu kali lagi di tahun ini akan menjadi 5,75 persen.

Baca juga: BI Diproyeksi Tahan Suku Bunga Acuan 6 Persen Hingga Paruh Pertama 2024

“Karenanya suku bunga FFR kami perkirakan masih bisa naik sekali lagi di akhir tahun ini menjadi 5,75 persen dari 5,5 persen. Sehingga secara keseluruhan 5,75 dan tahun depan 5,25 persen,” ujar Perry dalam dalam rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR, Senin 13 November 2023.

Namun, Perry mengatakan bahwa penurunan tersebut baru akan terjadi pada paruh kedua tahun 2024.

“Kemungkinan-kemungkinan FFR baru akan mulai turun di paruh kedua tahun depan,” jelasnya.

Sebelumnya, Perry menyebutkan bahwa untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR), diprakirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer).

Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang dengan kenaikan yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), akibat peningkatan kebutuhan pembiayaan utang Pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia).

Baca juga: Kenaikan Suku Bunga BI Berdampak ke Kinerja Industri Asuransi? Ini Jawaban OJK

Berbagai perkembangan tersebut mendorong pembalikan arus modal dari negara Emerging Market Economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid, yang mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia.

“Ketidakpastian ekonomi dan keuangan global semakin tinggi karena terjadi bersamaan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, dan karenanya memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik di negara-negara EMEs, termasuk Indonesia,” imbuhnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Top News