Jakarta – Transaksi pembayaran berbasis QRIS di Indonesia sangat besar, bahkan berada di urutan teratas mengalahkan China, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya.
Untuk menangkap potensi bisnis dari ceruk market yang besar ini, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri pembayaran elektronik.
Chairman of Asian Payment Network (APN) sekaligus Direktur Utama Artajasa Armand Hermawan mengungkapkan, setidaknya ada tiga tantangan besar yang harus diselesaikan di industri pembayaran elektronik.
Pertama ialah mendorong interoperability yang memungkinkan masyarakat bisa bertransaksi secara luas melalui aplikasi tanpa memandang batas-batas geografis.
Baca juga: Members Meeting ATM Bersama 2024: Artajasa Perkuat Kolaborasi dengan Industri Keuangan
Selama ini, Artajasa berupaya mendorong interoperabilitas layanan dalam sistem pembayaran. Seperti transaksi tarik tunai tanpa kartu antarbank, dengan melihat tren transaksi pembayaran ke arah mobile-based saat ini.
Kedua, belum adanya standard of action jika terjadi fraud atau cybercrime yang dilakukan nasabah dari bank tertentu.
“Misal evidence fraud-nya di Nepal dan transaksinya dari Malaysia. Terus impact-nya ke Indonesia. Itu belum ada standard of action atas cybercrime atau fraud-nya,” terang Armand saat berdikusi dengan Infobank di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (16/10).
Armand mengatakan, standard of action diperlukan untuk memberikan kewenangan atas tindakan yang dilakukan perusahaan pembayaran jika terjadi fraud atau cybercrime sewaktu-waktu. Untuk saat ini, lanjutnya, pihak penyedia layanan pembayaran seperti Artajasa sebatas memberikan informasi kepada mitra saat transaksi mencurigakan terjadi.
“Yang bisa kami lakukan memberikan info ke banknya bahwa ada customer anda yang begitu. Kalau kita hold atau reject bank ini juga kena. Demikian juga nanti kalau sesama member APN. Kalau ada transaksi antarbank atau dari bank ke merchant yang mencurigakan bagaimana? Apakah transaksinya kita hold atau reject? Nah itu belum ada standarisasinya,” bebernya.
Selanjutnya, ketiga, mengenai regulasi bisnis pembayaran. Ia mencontohkan soal transaksi person to merchant (P2M) yang belum diperbolehkan di Indonesia.
Baca juga: Transaski QRIS Makin Diminati, Artajasa Jalin Kerja Sama dengan 13 Perusahaan Pembiayaan Elektronik di Asia
Di Indonesia, katanya, transaksi pelanggan dilakukan hanya dalam bentuk pembelian (purchase), bukan transfer dana karena akan besinggungan dengan aturan merchant discount rate (MDR).
Perlu diketahui, MDR QRIS merupakan biaya jasa yang dikenakan kepada merchant oleh Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) saat bertransaksi menggunakan QRIS.
Biaya MDR sepenuhnya diberikan kepada industri. Industri tersebut meliputi lembaga issuer, lembaga acquirer, lembaga switching, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan Penyelesaian Transaksi Elektronik Nasional (PTEN). (*) Ranu Arasyki Lubis