Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa kerugian di seluruh dunia akibat kejahatan siber telah mencapai sebanyak USD8 triliun atau sebesar Rp123.618 triliun (kurs: Rp15.452).
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Wattimena yang mengutip data The Institute of Internal Auditors (IIA) dalam Risk and Governance Summit di Jakarta, 30 November 2023.
“IIA juga menyampaikan kerugian akibat kejahatan siber di seluruh dunia pada tahun 2023 mencapai angka yang cukup signifikan, yaitu sekitar USD8 triliun,” kata Sophia.
Baca juga: Mitigasi Kejahatan Siber dan Tantangan Digitalisasi Industri Keuangan
Lebih lanjut, Sophia menambahkan bahwa, kerugian akibat ransomware diproyeksikan dapat mencapai sekitar USD265 miliar pada tahun 2031.
“Di sisi lain, rata-rata waktu yang diperlukan untuk organisasi menyelesaikan kejahatan siber ini masih mencapai angka 277 hari jadi cukup lama tidak immediate,” imbuhnya.
Lalu, kesenjangan untuk tenaga kerja dalam industri cyber security mencapai 3,4 juta orang.
“Tentunya ini membutuhkan kesiapan organisasi dan menjadi isu yang sangat kritikal,” ujar Sophia.
Oleh karenanya, OJK sebagai otoritas tentunya terus mendorong dan berkomitmen dalam penguatan governance, risk, and compliance (GRC).
“Di sini kami sampaikan beberapa POJK yang memperkuat terkait GRC dan yang tahun ini dirilis antara lain adalah untuk penerapan tata kelola manajer investasi, kemudian penerapan tata kelola bank umum,” tambahnya.
Baca juga: Marak Kejahatan Siber, Ini Upaya BI Perkuat Perlindungan Konsumen
Adapun, upaya lain yang dilakukan OJK saat ini adalah melakukan pengembangan sistem pelaporan lembaga jasa keuangan (LJK) dalam penerapan IFRS S1 dan S2.
“Kemudian penerapan key audit matters, SAKI atau SAK Internasional, kemudian penyusunan kebijakan yang terintegrasi di seluruh sektor jasa keuangan untuk keuangan berkelanjutan, dan tentunya tak lupa untuk penerapan PSAK 17,” kata Sophia. (*)
Editor: Galih Pratama