Bali – Bank Indonesia (BI) terus mendorong industri sektor keuangan untuk bertransisi ke ekonomi dan keuangan hijau. Namun, dalam proses transisi tersebut dapat berdampak negatif atau adanya risiko-risiko bila tidak dikelola dengan baik.
Yati Kurniati selaku Direktur Eksekutif dan Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia mengatakan, terdapat risiko fisik dan risiko transisi, yang berpengaruh kepada kesetabilan moneter dan sistem keuangan.
“Kita lihat dari risiko fisik dari dampak iklim akan berdampak kepada gangguan cuaca kemudian dan natural disaster akan menganggu supply dan jasa yang ujungnya mempengaruhi inflasi serta kesetabilan harga,” jelas Yati, Jumat, 15 Juli 2022.
Lanjut Yati, kemudian dalam risiko transisi akan adanya perubahan perilaku pelaku ekonomi yang memilih berinvestasi ke green ekonomi yang risikonya bila tidak siap, maka akan berdampak pada cost of finance menjadi besar.
“Secara global bila melakukam proses transisi, ini juga dampaknya besar mempengaruhi ketahanan sektor eksternal kita, yang ujungnya akan berpengaruh ke nilai tukar,” ungkap Yati.
Untuk itu, BI menaruh perhatian besar agar bisa memitigasi risiko-risiko tersebut, dengan mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendukung industri sektor keuangan bertransisi ke ekonomi dan keuangan hijau.
“BI telah mengeluarkan kebijakan Green Macroprudential Policy, seperti Green LTV (Loan to Value) bagi bank yang menyalurkan kredit hijau untuk pembiayaan properti yang bersifat insentif,” imbuh Yati.
Selain itu, BI juga tengah mempersiapkan green inclusive financing ratio untuk target pembiayaan inklusif sebesar 30% di tahun 2024.
“Kita terus melakukan assessment perumusan kebijakan yang kemudian dipersiapkan untuk perbankan dengan memperhitungkan skenario perubahan,” tambahnya. (*) Irawati