Jakarta – Melemahnya nilai tukar rupiah yang saat ini berada dikisaran Rp14.000 per dolar AS lebih disebabkan oleh faktor-faktor global. Bank Indonesia (BI) menilai, dolar AS yang sudah menembus level Rp14.000 ini sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi nasional.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, kondisi global telah membuat dolar AS menguat terhadap hampir semua mata uang didunia. Berdasarkan data BI, di bulan Mei 2018 atau sampai dengan 9 Mei 2018 (month-to-date/mtd) laju rupiah sudah melemah 1,2 persen terhadap dolar AS. Sementara sepanjang tahun 2018 (year to date) Rupiah melemah 3,67 persen.
“Melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini,” ujar Agus Marto dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat, 11 Mei 2018.
Menurutnya, tantangan global terutama siklus peningkatan suku bunga di AS, meningkatnya harga minyak dunia, serta menguatnya risiko geopolitik sebagai akibat meningkatnya tensi sengketa dagang AS-Tiongkok dan pembatalan kesepakatan nuklir AS-Iran, telah mendorong menguatnya mata uang Paman Sam tersebut terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk juga rupiah.
“Oleh sebab itu, Bank Indonesia akan konsisten mendorong berjalannya mekanisme pasar secara efektif dan efisien, sehingga ketersediaan likuiditas baik di pasar valuta asing dan pasar uang tetap terjaga dengan baik,” ucapnya.
Dia menilai, operasi moneter di pasar valas tetap dilakukan untuk meminimalkan volatilitas nilai tukar, sehingga keyakinan pelaku ekonomi tetap terjaga. Operasi moneter di pasar uang juga terus dilakukan untuk memastikan ketersediaan likuiditas rupiah yang memadai dan terjaganya stabilitas suku bunga di pasar uang, dalam koridor yang sejalan dengan stance kebijakan moneter BI.
Selain itu, kolaborasi dengan otoritas terkait dan industri keuangan terutama asosiasi, akan diperkuat Bank Sentral untuk memperdalam dan mengefisienkan price discovery di pasar valuta asing dan pasar uang, termasuk melalui penambahan variasi instrumen, penguatan infrastruktur pasar keuangan, dan memperkuat kredibilitas suku bunga acuan pasar (market reference rate). (*)