Jakarta – Respons Bank Indonesia (BI) terhadap perlambatan kredit yang hanya tumbuh sebesar 8,88 persen pada April 2025 mendorong bank sentral RI memperluas kebijakan makroprudensialnya. Salah satu langkah yang diambil adalah meningkatkan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) dari maksimum 30 persen menjadi 35 persen dari modal bank.
Dalam hal ini, BI mendorong perbankan untuk mendapatkan sumber pendanaan dari utang luar negeri (ULN), seiring dengan keterbatasan sumber dana dari domestik. Namun, kebijakan ini perlu dicermati lebih lanjut karena dikhawatirkan pendanaan dari luar negeri tersebut justru dapat meningkatkan biaya dana (cost of fund) perbankan.
Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan langkah BI dalam meningkatkan RPLN merupakan salah satu upaya yang patut diapresiasi dalam merespons perlambatan pertumbuhan kredit.
“Dengan membuka peluang bagi bank untuk mendapatkan sumber pendanaan tambahan dari luar negeri, BI ingin memberi fleksibilitas agar perbankan tidak hanya bergantung pada dana domestik yang pertumbuhannya relatif terbatas belakangan ini,” ujar Yusuf kepada Infobanknews, Rabu, 28 Mei 2025.
Baca juga: Likuiditas Ketat, BI Beri Restu Bank Tarik Utang Luar Negeri Lebih Banyak
Di sisi lain, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada beberapa faktor. Meski dana dari luar negeri dapat menjadi alternatif pembiayaan, tidak selalu berarti lebih murah.
Menurut Yusuf, biaya dana luar negeri sangat bergantung pada kondisi pasar global, suku bunga internasional, dan persepsi risiko terhadap Indonesia maupun bank itu sendiri.
“Selain itu, bank juga harus berhati-hati terhadap potensi risiko nilai tukar, terutama jika pinjaman dalam valuta asing tidak diimbangi dengan aset atau pendapatan dalam mata uang yang sama,” katanya.
Tambah Likuiditas Perbankan
Yusuf menyebut, kebijakan ini bisa menambah likuiditas perbankan dari sisi suplai untuk penyaluran kredit. Namun demikian, pertumbuhan kredit tetap sangat dipengaruhi oleh faktor permintaan dari dunia usaha.
Baca juga: BI Rate Dipangkas, LPS Ungkap Perbankan Saling Tunggu Turunkan Bunga Simpanan
Ia menambahkan bahwa dunia usaha kemungkinan masih menahan ekspansi karena adanya ketidakpastian atau prospek bisnis yang belum cukup kuat.
“Jadi, kebijakan ini akan lebih efektif jika didukung oleh langkah-langkah lain yang mendorong kepercayaan dan aktivitas ekonomi secara menyeluruh,” imbuhnya.
Statistik ULN Perbankan Indonesia
Sebagai informasi, berdasarkan buku Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi Mei 2025, hingga akhir Maret 2025, ULN perbankan tercatat sebesar USD33,46 miliar atau setara Rp545,06 triliun (asumsi kurs Rp16.290/USD).
Angka tersebut merupakan bagian dari total ULN Indonesia yang senilai USD195,5 miliar atau Rp3.184,6 triliun.
Baca juga: LPS Pangkas Tingkat Bunga Penjaminan Jadi 4 Persen, Valas Ditahan Tetap 2,25 Persen
Secara rinci, posisi ULN perbankan pada Maret 2025 tidak berubah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, namun mengalami peningkatan setelah sebelumnya menurun pada April 2024.
ULN perbankan terbesar berasal dari bank swasta nasional, yakni sebesar USD20,45 miliar atau setara Rp333,13 triliun. Sementara itu, ULN bank pelat merah (BUMN) tercatat USD7,55 miliar atau sekitar Rp122,98 triliun.
Adapun bank swasta asing memiliki utang valas senilai USD330 juta atau sekitar Rp5,37 triliun. Sementara itu, bank swasta campuran mencatatkan ULN sebesar USD5,13 miliar atau setara Rp83,56 triliun. (*)
Editor: Yulian Saputra









