Jakarta – Bank Indonesia (BI) menilai, relaksasi porsi Giro Wajib Minimum rata-rata (GWM Averaging) yang menjadi 2 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) diperkirakan dapat menambah likuiditas industri perbankan hingga sebesar Rp20 triliun.
“Dengan perhitungan rata-rata per dua pekan, ada peluang sekitar Rp20 triliun dari rasio GWM terhadap rupiah, valas maupun syariah,” ujar Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo, di Jakarta, Kamis malam, 18 Januari 2018.
Dengan tambahan likuiditas tersebut, kata dia, diharapkan perbankan dapat meringankan biaya dana dan menambah akselerasi penyaluran kredit. Pada 2018, BI berharap fungsi intermediasi perbankan meningkat, karena risiko kredit bermasalah yang mulai menurun dan perbaikan ekonomi makro. Kredit juga diproyeksikan 10-12 persen di 2018.
Selain itu, tambah dia, perbankan juga dapat menyimpan kelebihan likuiditas hasil relaksasi tersebut di surat utang, sehingga turut memperdalam pasar keuangan. “Perbankan jadi punya room untuk mendapatkan pengelolaan yang cukup baik. Ini juga membantu memberi sinyal kepada intermediasi perbankan agar lebih baik,” ucapnya.
Bank Sentral dalam Rapat Dewan Gubernur RDG) periode Januari 2018 memutuskan untuk memperlonggar porsi Giro Wajib Minimum rata-rata. Dari total GWM rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5 persen, porsi GWM rata-rata diperlonggar dari 1,5 persen menjadi 2 persen dari DPK yang akan berlaku pada 16 Juli 2018.
Sementara itu, dari total GWM Valas bank umum konvensional yang sebesar 8 persen dari DPK, maka porsi GWM Averaging mulai diberlakukan sebesar 2 persen dari DPK. Untuk bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM rupiah sebesar 5 persen dari DPK, porsi GWM Averaging mulai diberlakukan sebesar 2 persen dari DPK.
“Untuk implementasi GWM Rata-rata valas bank umum konvensional dan GWM Rata-rata rupiah bank syariah akan mulai diberlakukan pada 1 Oktober 2018,” paparnya.
Penyempurnaan GWM Averaging ini untuk meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan, mendorong fungsi intermediasi perbankan dan mendukun upaya pendalaman pasar keuangan. Kebijakan ini nantinya akan meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dan menjaga stabiitas perekonomian. (*)