Jakarta – Bank Indonesia (BI) resmi menaikkan suku bunga acuan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen pada bulan lalu. Kenaikan suku bunga bank sentral Indonesia itu adalah untuk merespons pelemahan rupiah di tengah ketidakpastian ekonomi global yang meningkat.
Keputusan BI untuk menaikkan suku bunga acuan itu juga sebagai langkah antisipasi terhadap kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25 sampai 5,50 persen pada bulan ini.
Melihat tren suku bunga acuan tinggi tersebut, Chief Economist Bank Permata Josua Pardede membeberkan jika tren suku bunga tinggi bank sentral tak akan berpengaruh banyak terhadap kinerja penyaluran kredit industri perbankan nasional.
Menurut Josua, kenaikan suku bunga kredit perbankan tak serta-merta dipengaruhi oleh suku bunga acuan atau BI rate. Ia jelaskan, kenaikan suku bunga kredit perbankan juga dipengaruhi oleh risiko kredit pada industri perbankan (risk appetite). Di samping itu, dipengaruhi pula oleh kondisi likuiditas, yang berkaitan dengan kebijakan makroprudensial.
“Ada pelonggaran kebijakan makroprudensial dan berbagai industri itu indikator likuiditasnya juga masih ample, sehingga di sini dimungkinkan transmisi itu atau dampaknya pada kenaikan suku bunga kredit ini akan lebih terbatas. Sekalipun tetap ada implikasinya pada kinerja perbankan, di mana kita melihat ada potensi Net Interest Margin (NIM) industri perbankan cenderung akan menurun dan ini sudah terealisasi,” ujarnya di Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.
Baca juga: OJK: Kenaikan BI Rate Tak Langsung Pengaruhi Suku Bunga Kredit
Lebih lanjut, Josua sampaikan, bila melihat risk profile atau profil risiko dari antara tiga jenis kredit, kredit konsumsi, kredit modal kerja, dan kredit investasi, maka kredit konsumsi cenderung mengalami kenaikan suku bunga yang terbatas. Hal ini dilandasi oleh beberapa kinerja layanan kredit konsumsi seperti KPR yang relatif masih solid dengan Non Performing Loan (NPL) yang masih terjaga.
Di lain sisi, Head of Industry and Regional Research Permata Bank, Adjie Harisandi menjelaskan jika kenaikan suku bunga acuan BI tidak terimplementasi seluruhnya pada bunga kredit modal kerja maupun investasi. Bahkan, untuk kredit konsumsi, ia katakan mengalami tren penurunan suku bunga. Ini dikarenakan industri perbankan nasional rata-rata memiliki tingkat NPL yang terjaga dan permintaan pasar seperti yang terefleksikan dalam produk KPR masih terjaga.
“Jadi, untuk premi risiko dari industri perbankan itu mungkin melihat, oh yaudah nggak papa kita suffer di cost of fund tapi kita turunin sedikit premi risikonya, karena memang relatif aman dan kita jadi mendapatkan margin,” imbuh Adjie.
Baca juga: Kredit Perbankan Tumbuh 12,40 Persen di Maret 2024, Ini Sektor Pendongkraknya
Sebagai informasi, kinerja perbankan Indonesia tercatat masih positif. Tercermin dari likuiditas perbankan yang masih sangat memadai di Maret 2024 dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 121,05 persen dan 27,18 persen atau jauh di atas threshold masing-masing yang sebesar 50 persen dan 10 persen.
Adapun, kredit perbankan per Maret 2024 tercatat tumbuh doubel digit, yakni 12,40 persen secara tahunan (yoy), dibandingkan bulan sebelumnya 11,28 persen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun meyakini bahwa pertumbuhan kredit masih bisa mencapai targetnya, yakni di level 9 sampai 11 persen, sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB). (*) Steven Widjaja