BI Perlu Menerapkan Kebijakan Moneter dengan Paradigma Disruption

BI Perlu Menerapkan Kebijakan Moneter dengan Paradigma Disruption

Oleh Ida Bagus Kade Perdana

DEMI terwujudnya Indonesia sebagai negara maju, Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga makroprudensial dipandang perlu melakukan dan mencari terobosan-terobosan baru dengan menerapkan kebijakan moneter dengan paradigma baru yang visioner sejalan dengan persaingan global yang kian menguat, agar bisa unggul, utamanya dalam bidang ekonomi. BI harus meninggalkan cara-cara konvensional yang tidak efisien, tidak produktif, bahkan mungkin sudah usang dan ketinggalan zaman yang cenderung bersifat feodalistis, kapitalistik, tidak efisien, dan tidak konstruktif. BI perlu menerapkan paradigma baru dengan menerapkan kebijakan moneter yang disruption atau disruptive innovation dengan menganut kebijakan suku bunga negatif sebagaimana yang diterapkan negara-negara maju.

Hal itu perlu dilakukan guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu dan terpuruk, jatuh ke jurang resesi akibat dampak COVID-19. Ini juga dalam upaya memulihkan perekonomian sehingga perekonomian kembali sehat dan kondusif dengan pertumbuhan yang menjanjikan. Perlu ada perubahan paradigma kebijakan moneter secara drastis dengan melakukan disruption atau disruptive innovation sehingga terjadi perubahan yang mendasar (fundamental) pada pola bisnis di bidang sistem keuangan, baik pada lembaga keuangan bank maupun nonbank.

BI pastinya sangat paham dengan apa yang dimaksud kebijakan moneter yang disruption atau disruptive innovation. Namun demikian, rasanya masih perlu dijelaskan apa itu disruption atau disruptive innovation. Disruption atau disruptive innovation adalah kebijakan yang mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan teknologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap industri atau pasar. Jadi, pada dasarnya mengubah fundamental pola bisnis lembaga keuangan, baik nonbank maupun lembaga keuangan bank, sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman, dari gaya bisnis kuno yang sudah usang dan tidak up-to-date lagi ke pola bisnis secara modern sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara maju belakangan ini.

Kalau kita perhatikan, pemerintah cq Menteri Keuangan, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak masa reformasi telah mampu menciptakan fundamental perekonomian yang lebih baik, tertata, sehat, dan lebih kuat daripada sebelumnya. Mencermati kilas balik ke belakang, ke zaman Orde Baru (Orba), pemerintah Orba dapat dikatakan telah berhasil membereskan kekacauan ekonomi yang timbul pada periode menjelang berakhirnya kekuasaan rezim Orde Lama (Orla). Kendati, pada akhirnya kondisi yang sama juga tidak terhindarkan pada masa akhir pemerintahan Orba.

Pemerintah Orla tidak mampu mengatasi krisis ekonomi pada 1950-an. Inflasi meroket. Terjadi hiperinflasi hingga mencapai level 635% pada 1966. Pada masa Orla, kebutuhan bahan pokok hilang dari pasaran. Sampai-sampai untuk membeli beras dan minyak tanah, masyarakat harus antre. Inflasi yang demikian tinggi sudah pasti berkorelasi dengan bunga bank yang tidak terbayangkan tingginya.

Dengan beralihnya kekuasaan dari Orla ke Orba, hiperinflasi pun bisa ditekan menjadi ke kisaran 112%, tapi bunga bank tetap tinggi mengikuti tingkat inflasi yang ada. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Orba sepertinya berhasil mengendalikan inflasi dan ekonomi Indonesia berlanjut stabil.

Pada 1973 terjadi boom harga minyak yang tinggi di pasar internasional. Akibat dari boom harga minyak yang tinggi itu, pemerintah Indonesia memperoleh pendapatan yang besar dan berimbas pada besarnya pemasukan pemerintah dari sektor minyak. Hal itu pun membuat pemerintah Orba memiliki amunisi untuk melakukan pembangunan di berbagai bidang, baik pembangunan fisik maupun ekonomi. Pemerintah Orba juga menjalankan program pemerataan pembangunan dengan menyalurkan kredit secara gencar untuk mendorong kegiatan ekonomi, termasuk golongan ekonomi lemah.

Namun, sepertinya kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah Orba waktu itu lebih fokus atau cenderung memanjakan iklim konglomerasi. Perekonomian memang boleh dikatakan tumbuh signifikan, tapi kemudian perekonomian menjadi cenderung memanas. Pada 1973/1974 inflasi merangkak naik menuju ke arah hiperinflasi, yang mencapai level 47%. Itu sebagai konsekuensi logis dari derasnya kucuran kredit. Utamanya untuk para konglomerat yang dipergunakan untuk membangun bisnis yang cenderung kurang produktif, lebih ke sektor yang bersifat untuk membangun prestise dan pencitraan/ kemewahan.

Karena bunga pinjaman di dalam negeri cenderung tinggi, banyak perusahaan nasional yang memperoleh pinjaman dari luar negeri dengan suku bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berlaku di dalam negeri. Hal itu pada akhirnya membuat utang luar negeri melambung dan tidak dibarengi dengan lindung nilai yang dikemudian hari menimbulkan permasalahan yang mendepresiasi  nilai rupiah dan memberatkan serta menjadi beban perekonomian nasional.

Melihat tingginya inflasi, mencapai 47%, pemerintah Orba berusaha mengendalikannya untuk mencegah memburuknya perekonomian. Program stabilisasi dijalankan, dan angka inflasi pun dapat diturunkan pada 1974/1975 hingga mencapai level 21%. Semasa Orba, suku bunga bank sepertinya belum pernah di bawah dua digit. Suku bunga Kredit Investasi Kecil  (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dengan bantuan likuiditas BI, misalnya, berkisar 12% per annum. Tentu suku bunga kredit komersial lebih tinggi daripada itu.

Dengan inflasi yang 21%, suku bunga bank di masa Orba masih tetap tinggi. Hal itu membuat orang merasa nyaman menyimpan uangnya di deposito, walaupun membuat orang menjadi orang malas, tidak kreatif, tidak inovatif, tidak mau keluar dari zona nyaman, tidak berani menghadapi risiko. Orang tidak mau terjun menjadi pembisnis atau pengusaha. Tentu hal ini berdampak buruk. Tidak sehat bagi pergerakan dan pertumbuhan untuk menciptakan generasi pengusaha yang banyak dibutuhkan dalam pembangunan dan perekonomian maupun produktivitas nasional. Tentunya menghambat dalam upaya untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya demi terciptanya kesejahteraan masyarakat banyak.

Kondisi perekonomian dunia terus berubah. Fundamental perekonomian nasional tidak sekuat yang dibayangkan. Sekitar Agustus 1997 nilai tukar rupiah mulai menunjukkan tanda-tanda terguncang. Rupiah melemah, membuat pelaku dunia usaha mulai panik karena saat itu terakumulasi banyak perusahaan nasional yang memiliki utang valas di luar negeri kendati pendapatannya bukan dalam bentuk valas, terlebih lagi tidak dilakukan lindung nilai. Cadangan devisa nasional rontok, terus tergerus sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk menjaga nilai tukar rupiah. Waktu itu rupiah berada di kisaran Rp2.000-Rp2.500 per dolar Amerika Serikat (US$).

Namun, upaya pemerintah menjaga rupiah rupanya tidak berhasil. Rupiah melemah. Pada awal 1998 rupiah mencapai level Rp6.000 per US$1. Periode yang kelam terjadi pada Juni 1998. Rupiah terkapar ke level Rp16.650 per US$1. Tertinggi sepanjang masa. Hal itu membuat inflasi melambung tinggi pada 1998, mencapai level 77,63% dampak dari krisis moneter 1998 yang menciptakan pertumbuhan ekonomi pada 1998 terkontraksi minus 13%.

Tentu dengan tingkat inflasi setinggi itu membuat bunga dana pihak ketiga di perbankan, terutama deposito, bisa lebih tinggi daripada inflasi. Demikian pula dengan bunga antarbank, apalagi bunga pinjaman yang tinggi membuat kredit macet membengkak. Banyak bank bangkrut dampak dari krisis keuangan yang berubah menjadi krisis perbankan dan pada akhirnya menjadi krisis politik dengan lengser keprabonnya Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaan rezim Orba beralih ke Orde Reformasi.

Perjalanan reformasi ekonomi Indonesia pascaberakhirnya kekuasaan rezim Orba melewati pergantian beberapa presiden Republik Indonesia (RI). Dalam perjalanannya kemudian, perekonomian berangsur membaik, bertumbuh, dengan tingkat inflasi yang terus menurun. Pada 2019 inflasi ditargetkan dalam rentang 3,5% +/- 1% dengan inflasi riil selama April-Juni 2019 inflasi tahunan (year on year/yoy) mencapai 2,83%, 3,32%, dan 3,28%.

Sejak diberlakukannya pengendalian suku bunga dengan menerapkan bunga acuan BI Rate yang kemudian digantikan dengan BI 7-Day Reverse Repo Rate terus turun menjadi rendah. Sempat berada bertahan di level 4%. Rapat Dewan Gubernur pada 18-19 November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-DRR  sebesar 25 bps menjadi 3,75% diikuti dengan penurunan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 3,00% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Keputusan tersebut mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah pada 2020 inflasi riil per bulan tertinggi berada pada level 2,98% dan terendah berada pada level 1,32%, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional yang sedang terpuruk dampak dari wabah COVID-19.

Dilihat dari likuiditas perbankan yang berkecukupan dampak dari kebijakan moneter BI dan adanya stimulus fiskal di samping masih terhambatnya penyaluran kredit, diperkirakan suku bunga deposito perbankan berada dalam kisaran di bawah level suku bunga BI 7-DRR atau di atasnya, kisaran 50 bps-100 bps untuk bank-bank umum. Untuk suku bunga pinjaman korporasi dan ritel sesuai dengan suku bunga dasar kredit 10 bank umum berada di kisaran 7,41%-11%.

Pemerintah bersama BI dan OJK dalam beberapa tahun terakhir ini makin piawai dan ahli dalam menjaga fundamental perekonomian. Inflasi terkendali. Suku bunga bank makin rendah. Hal sebaliknya justru tidak dapat dilakukan oleh pemerintah Orba. Pemerintah Orba tidak mampu mengendalikan inflasi dan suku bunga bank.

Dengan kemajuan yang dicapai pemerintah cq Menteri Keuangan, BI, dan OJK dalam menjaga dan mengendalikan inflasi, suku bunga bank, dan stabilitas sistem keuangan, diharapkan pemerintah cq Menteri Keuangan, BI, dan OJK pada akhir 2021-2022 sudah mampu menerapkan paradigma baru pada kebijakan moneter, yang disruption atau disruptive innovation dengan menerapkan suku bunga negatif seperti yang telah diterapkan negara-negara maju, seperti Swiss, Swedia, Denmark, Uni Eropa, dan Jepang. Ini perlu dilakukan untuk mengatasi perekonomian yang sedang lesu, terkapar, mengalami resesi, sekaligus juga untuk menggenjot konsumsi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Rasanya, dengan keberhasilan tersebut, menerapkan suku bunga negatif bagi Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil bila direncanakan dengan baik-baik dan sungguh-sungguh sejalan dengan dasar falsafah negara, yaitu Pancasila, agar segera terwujud perekonomian yang mampu meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga mengambil porsi lebih dari separuh pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia sehingga pergerakannya sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, Indonesia butuh konsumsi masyarakat, tapi juga butuh dana untuk diinvestasikan. Meski konsumsi masyarakat masih tumbuh, harus diakui bahwa pertumbuhan konsumsi masyarakat di Indonesia melambat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga kini di bawah level 5%, tidak seperti tahun tahun sebelumnya ketika belum ada COVID-19.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, kita harus bergerak cepat. Bila tidak, kita akan tertinggal. Untuk itu, kita harus segera mempersiapkan diri mulai sekarang. Sekali lagi, perlu kiranya penerapan kebijakan moneter disruption atau disruptive innovation dengan menerapkan suku bunga negatif. Tujuannya, seperti yang telah diungkapkan di atas, yaitu pulihnya dan tumbuhnya ekonomi yang tinggi guna mengurangi tingkat pengangguran dan mengentaskan kemiskinan menuju terciptanya Negara Indonesia Maju.

*) Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).

Related Posts

News Update

Top News